Diatas meja disamping buku yang dari
tadi dilihat si wajah teduh ada sebuah sketsa wajah yang tidak lagi nampak
asing baginya. Dia mengambilnya perlahan, lalu dibukanya satu persatu lembaran
buku sketsa itu. Wajah pertama yang dia lihat adalah wajah yang hampir dua
tahun menemaninya, diujung kanan sebelah bawah si pemilik buku menulis sebuah
inisial “R”.
Lalu, kembali halaman berikutnya dia
buka, disana dia melihat siluet wajahnya yang sedang tersenyum. Mata sayu,
hidung mandung, dan sebuah senyuman yang selalu ada diwajahnya. Kembali dia
tersenyum, sambil bergumam, “Kamu ini selalu baik seperti ini ya?” Si pemilik
wajah teduh kembali membuka halaman selanjutnya, dihalaman ini dia sempat
bertanya-tanya siapa sosok pria yang digambar ini? Kembali diujung kanan bawah
dia menulis sebuah inisial “AH”. Halaman berikutnya pun masih orang berinisial
AH yang terlihat, dan hampir seluruh buku sketsa wajah pria inisial AH ini yang
memenuhi buku.
“Apa pria ini yang sekarang
benar-benar membuatmu jatuh cinta?” ucap si wajah teduh. Di halaman terakhir
ada sebuah tulisan tangan milik si pemilik ruangan.
Seseorang pernah bertanya, “Kenapa kamu
menyukainya?” dan selalu saya jawab, “Tidak ada alasan untuk tidak
menyukainya.” Lantas mereka tertawa lalu berkata “Setiap orang yang jatuh cinta
selalu punya alasan kenapa dia jatuh hati pada orang itu. Misalnya, karena dia
tampan, kaya raya, atau karena dia baik. Dan bla… bla… bla…” Menurutku orang
yang berkata demikian tidak paham alasan mencintai seseorang.
Lalu saya berucap, “Jika kamu
mencintai seseorang karena dia tampan, bagaimana jika dia mengalami kecelakaan
dan wajah tampan itu berubah menjadi sangat mengerikan. Apa kamu masih bisa
berkata kamu mencintainya? Lalu jika kamu menyukai seseorang hanya karena dia
kaya raya. Bagaimana jika dia jatuh miskin, apa kamu masih bisa bilang
kamu mencintainya? Dan jika dia tidak lagi baik, sebaik dia dulu masih menjadi
kekasihmu, apa kamu akan tetap mencintainya? Manusia itu gampang berubah, tidak
tetap.”
Dia terdiam cukup lama setelah saya
berkata demikian. Tapi karena ego, buru-buru dia jawab, “Setidaknya saya punya alasan mencintai seseorang. Daripada asal suka!” kembali saya tertawa mendengarnya,
dia menatap saya dengan begitu kesal, seolah tatapannya berkata, “Daripada
kamu?” Lalu kembali saya berucap, “Saya menyukainya karena Allah. DIA yang
menitipkan rasa ini, memberi rasa ini tanpa alasan “Kenapa?” karena itu saya
tidak pernah punya alasan menyukainya kecuali karena ALLAH.”
Dia terdiam lagi, kali ini cukup lama.
Jingga sore itu ikut tersenyum melihat kami dari bingkai jendela. Ku harap
masih ada waktu untukku bertemu jingga. Sekedar menyapa atau mengobrol atau
sekedar bertanya tentang kabarnya. Dia yang begitu menyukai senja.
Si wajah teduh
kembali membuka halaman selanjutnya, disana ada gambar seorang wanita yang
mengenakan pakaian pengantin sedang duduk dengan wajah sendu, sementara jingga
dibelakangnya tersenyum bahagia. Diujung kanan bawah bukan lagi sebuah tulisan
inisial dari gambar itu tapi sebuah nama ‘Arina Astari Wijaya’.
Pemilik ruangan yang begitu menyukai
senja dan jingga. Si wajah teduh menutup buku sketsa milik Arina. Dia menatap
langit sore itu dari jendela kamar Arina, jingga ada disana dan seolah Arina
juga ada disana sedang menatapnya dari langit yang berwarna jingga.
“Fitri mau ikut ke rumah sakit?” Ucap
seorang perempuan paruh baya yang begitu terlihat datar. Si wajah teduh
tersenyum seraya mengangguk, dia menutup jendela dan kembali membiarkan ruangan
itu kosong seperti semula.
Nice :-)
BalasHapusTerima kasih sudah mampir, maaf baru sempat balas :)
Hapus