Jendela itu masih terbuka sedikit lebar... Gorden berwarna biru langit ikutan bergoyang tertiup angin. Dia bagai melambai pada sang pemilik kamar. Entah telah berapa lama jendela itu di biarkan terbuka, hanya agar udara di ruangan itu kembali menghidupkan kamar itu. Kamar yang menjadi tempat favorit seseorang untuk sekedar menghabiskan waktunya berkhayal tentang masa depan, tentang seseorang yang begitu dia sukai, tentang rasa kagum yang tidak pernah terjawab. Sebuah tempat yang menjadi kesukaannya setelah sebuah jaket.
Selimut makin dia tarik, makin menutupi tubuh kurusnya yang tak kunjung gemuk. Maag dan lainnya membuatnya semakin mengurangi porsi makan. Bahkan dalam beberapa minggu sekilo berat tubuhnya hilang entah kemana. Perihal itu tidak terlalu dia pikirkan, selama senyum itu masih ada di wajah seseorang, baginya kehidupannya masih sempurna. Sesempurna matahari pagi yang kian bersemangat untuk muncul.
Begitu sadar, matanya langsung menatap jaket yang menggantung di dekat jendela kamarnya, sebuah jaket yang begitu berarti baginya. Juga sekotak susu yang tidak pernah dia minum, hanya berdiri dengan manis di meja belajarnya. Walau bukan pemberian langsung, susu itu tetap di beli dari orang yang begitu dia sukai. Orang yang memang membuatnya bisa senyum seharian atau bahkan murung seharian. Cuma orang itu. Bahkan beberapa pesan pentingpun tidak pernah dia hapus, selalu dia simpan sebagai suatu kenangan yang mungkin bisa dia jual kelak ketika rindu datang mengunjunginya.
"Cuma mimpi, lebih baik sholat dulu. Lalu tidur kembali..."
"Jangan suka bikin janji sama Tuhan, semacam nazar loh, besok-besok dengan alasan apapun kalau dilanggar bisa dosa..."
"Jatuh cintalah pada seseorang yang senantiasa mengingatkanmu pada Allah." Salah satu nasehat sahabatnya kembali mendarat di memori paginya hari ini. Dan tentu saja, manusia yang satu ini selalu berhasil membuatnya mengingat Allah, mengingat kewajibannya sebagai seorang manusia. Hanya saja, dari pesan-pesan itu tidak pernah ada "Kita yang sebenarnya". Hanya ada satu kata "Saya"
Jendela itu kini dia tutup, makin terbuka makin membuatnya mengingat. Pagi ini di kota lain, sebuah semangat baru akan dia mulai, pencarian yang barupun kembali dimulai. Pindah dari tempat yang lama mungkin membuatnya sedikit banyak susah, namun itu keharusan. Sebuah keharusan karena tidak pernah dia menemukan "kita" dalam arti "kita" yang sebenarnya. Sosok manusia itu akan terus ada, hingga janji terpenuhi, hingga semuanya terlihat baik. Hingga kita yang lain menemukan kita yang sebenarnya. Tidak seperti sekarang, kita hanya sebuah tanda tanya besar. Tanda tanya, apakah kita memang bisa menjadi "kita"?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar