Teduh
menatap Jingga sore itu. Langit tampak begitu... Begitu... Jingga. Matahari
mulai terbenam, dan Teduh masih setia menatap langit. “Aku tidak menangis karena sedih. Angin yang terlalu kencang.”
Batin Teduh. Sembari menggoyangkan kakinya sedikit Teduh terus menatap langit
dengan senyum hambar.
“Jangan lagi kamu mencari hujan.
Akan ada pasukan bintang yang datang padamu, salah satu anggota Sirius.” Ucapan
Jingga terdengar sekali lagi di kepala Teduh.
Sebuah pesawat entah Lion Air,
Garuda, atau apalah melintas di langit tepat jauh di atas kepala Teduh. Kembali
dia menangis menatap pesawat yang melintas. Teduh, tersenyum lagi sembari
melambai keatas menghiraukan tatapan orang-orang yang menatapnya aneh.
“Sirius, akan sangat sedih
kehilangan satu mata-matanya.” Sebuah sms Teduh kirimkan ke Jingga. Semenit
kemudian, Teduh mulai meninggalkan bandara yang cukup ramai. Matanya masih
terlihat merah, sembab. “Aku tidak
menangis karena sedih, jingga. Anginnya yang terlalu kencang.” Batinnya
berusaha menguatkan dirinya untuk tidak menangis.
To :
Hujan
Hai, kamu lagi ngapain? Boleh saya
mengganggu?
Setiap kali ada rasa sesak yang
Teduh rasakan, atau masalah yang membuatnya sedih berlarut yang melintas di kepalanya
hanya Hujan. Entah sejak kapan dia selalu ingin Hujan yang menghiburnya, hujan
yang membuatnya kembali tersenyum. Tapi belakangan Hujan terlalu sibuk dengan
orang-orang yang terlalu menyukainya.
Genangan air yang ada di dekat
motornya menarik perhatiannya. Buru-buru dia menghapus air matanya. Lalu mulai
mendekati genangan air. “Dia balas, dia tidak balas. Dia balas, dia tidak
balas. Dia balas, dia tidak balas.” Raut wajah Teduh berubah ketika melihat
hanya ada dua gelombang air yang terlihat.
“Dia tidak balas...” Ucapnya sembari
menatap layar ponselnya.
Langit kembali terlihat cukup teduh.
Dalam perjalanan pulang Teduh menemukan dirinya di langit. Dia tersenyum senang
mendengar beberapa orang yang memujinya. Kecewa yang menghampiri teduh sirna seketika
batinnya berkata, “Mungkin hujan sedang sibuk!”
Sampai di rumah dia kembali
menjelajahi dunia maya, tempat dimana dia bisa belajar berbagai hal. Tempat
dimana dia bisa mengikuti beberapa lomba untuk memuaskan dirinya. Dunia maya
dimana dia pertama kali melihat Hujan.
“Wah ternyata dia cuma suka seorang
dokter.” Ucap Teduh pelan.
Dering menunggu terdengar di
ponselnya. Nama Wina si Jingga muncul di layar hapenya. Seharusnya pesawat Wina
sudah mendarat di Surabaya. Teduh kembali mengulang memencet nomer Wina. Ada
hal yang ingin dia dengar dari Wina.
“Ya ampun Rin, Baru juga pisah dari saya kamu udah
kangen.” Sahut Wina dengan nada cerianya.
“Jingga. Aku mau nanya, boleh?” Teduh to the point.
“Apaan?”
“Barusan aku lihat Media sosial Hujan. Dia seperti
cowok matre.” Teduh berhenti bicara.
“Kok kamu bisa ngomong begitu?” Wina mulai serius.
“Dia hanya suka seorang dokter. Wanita yang kaya
raya maksudnya.”
“Masa sih? Tapi kok kelihatannya dia gak gitu.” Wina
berusaha menenangkan Teduh.
“Entahlah Wina. Aku juga gak mau percaya tapi seolah
semua statusnya menunjukkan kalau dia itu menilai orang dari materi.”
“Kamu sudah selidiki?”
“Dari apa yang orang-orang katakan, mungkin benar
Win. Aku bukan siapa-siapa, aku bukan dari keluarga kaya raya. Aku hanya anak seorang
guru yang sehari-hari hanya menggunakan motor. Sementara hujan mengharapkan
wanita yang bermobil dan status dokter. Aku berhenti saja.” Ada nada pasrah
terdengar dari ucapan Teduh.
“Serius Rin?” Wina terkejut. “Ya sudah berhenti
saja. Dari awal dia memang bukan pria yang baik kalau saya lihat.”
“Aku mundur bukan karena aku tidak lagi menyukainya
karena dia terlihat matre ya Win. Aku mundur karena aku tahu di gak mungkin
milih aku jika dibanding wanita bermobil dengan status seorang dokter. Apalah
saya Win dibanding calonnya.” Kembali nada Pasrah terdengar dari Arina.
“My dearest Teduh. Kamu itu gak ada bandingannya.
Gak ada. Kamu itu satu dari ribuan. Cuma kamu, limited edition. Jangan minder
begitu, You’re great!” Sambung Wina mencoba menyemangati.
“Terima kasih Wina.”
“Kembali kasih. Ehh bentar, tumben nih kamu manggil
saya Wina.” Obrolan pun mulai berlanjut. Teduh dan Jingga selalu bisa membuat
satu sama lainnya tertawa seolah setiap permasalahan yang ada hanya sekedar
mampir lalu pergi dari kehidupan mereka.
Untuk Hujan...
Apa benar apa
yang terlihat? Kamu lebih menyukai wanita kaya raya dibanding yang biasa saja?
Apa materi selalu menjadi patokanmu? Aku ingin tidak mempercayainya namun tidak
bisa. Beberapa omonganmu seolah menunjukkan kamu begitu menyukai uang. Padahal
uang bukanlah segalanya, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Jika saja
kamu tahu akan konsep itu.
Oh iya hujan,
masihkah penyakit itu ada di tubuhmu? Setiap hari aku selalu ingin bertanya,
apa kamu baik? Sehat? Apa makanmu teratur? Namun ada beberapa hal yang
membuatku enggan untuk bertanya. Kamu terlalu sombong belakangan ini. Tapi
entah kenapa aku tidak mempedulikannya. Jika saja Jingga ada disini, dia akan
memakiku dengan sebutan “BODOH!”
Biarlah toh
yang menyukaimu aku, yang selalu menjagamu dalam doa aku bukan jingga. Jika
rindu ini datang, aku akan katakan padamu. Pria hebat yang selalu menjadi
inspirasiku, favoritku.
Balon gas berwarna hijau Teduh terbangkan. Jauh
menuju langit. Semua kehidupannya selalu tentang hujan. Kesukaan hujan, segala
hal tentang hujan. Untuk kedua kalinya Teduh jatuh hati pada satu hati yang
tidak menyukainya. Hujan.
“Selalu
tentangmu hujan. Selalu. It’s always been you.”
"Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu..." - Hujan dan Teduh (Wulan Dewatra)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar