Agustus 06, 2013

TENTANG HUJAN

Teduh menatap Jingga sore itu. Langit tampak begitu... Begitu... Jingga. Matahari mulai terbenam, dan Teduh masih setia menatap langit. “Aku tidak menangis karena sedih. Angin yang terlalu kencang.” Batin Teduh. Sembari menggoyangkan kakinya sedikit Teduh terus menatap langit dengan senyum hambar.
            “Jangan lagi kamu mencari hujan. Akan ada pasukan bintang yang datang padamu, salah satu anggota Sirius.” Ucapan Jingga terdengar sekali lagi di kepala Teduh.
            Sebuah pesawat entah Lion Air, Garuda, atau apalah melintas di langit tepat jauh di atas kepala Teduh. Kembali dia menangis menatap pesawat yang melintas. Teduh, tersenyum lagi sembari melambai keatas menghiraukan tatapan orang-orang yang menatapnya aneh.
            “Sirius, akan sangat sedih kehilangan satu mata-matanya.” Sebuah sms Teduh kirimkan ke Jingga. Semenit kemudian, Teduh mulai meninggalkan bandara yang cukup ramai. Matanya masih terlihat merah, sembab. “Aku tidak menangis karena sedih, jingga. Anginnya yang terlalu kencang.” Batinnya berusaha menguatkan dirinya untuk tidak menangis.
     To : Hujan
     Hai, kamu lagi ngapain? Boleh saya mengganggu?
            Setiap kali ada rasa sesak yang Teduh rasakan, atau masalah yang membuatnya sedih berlarut yang melintas di kepalanya hanya Hujan. Entah sejak kapan dia selalu ingin Hujan yang menghiburnya, hujan yang membuatnya kembali tersenyum. Tapi belakangan Hujan terlalu sibuk dengan orang-orang yang terlalu menyukainya.
            Genangan air yang ada di dekat motornya menarik perhatiannya. Buru-buru dia menghapus air matanya. Lalu mulai mendekati genangan air. “Dia balas, dia tidak balas. Dia balas, dia tidak balas. Dia balas, dia tidak balas.” Raut wajah Teduh berubah ketika melihat hanya ada dua gelombang air yang terlihat.
            “Dia tidak balas...” Ucapnya sembari menatap layar ponselnya.
            Langit kembali terlihat cukup teduh. Dalam perjalanan pulang Teduh menemukan dirinya di langit. Dia tersenyum senang mendengar beberapa orang yang memujinya. Kecewa yang menghampiri teduh sirna seketika batinnya berkata, “Mungkin hujan sedang sibuk!”
            Sampai di rumah dia kembali menjelajahi dunia maya, tempat dimana dia bisa belajar berbagai hal. Tempat dimana dia bisa mengikuti beberapa lomba untuk memuaskan dirinya. Dunia maya dimana dia pertama kali melihat Hujan.
            “Wah ternyata dia cuma suka seorang dokter.” Ucap Teduh pelan.
            Dering menunggu terdengar di ponselnya. Nama Wina si Jingga muncul di layar hapenya. Seharusnya pesawat Wina sudah mendarat di Surabaya. Teduh kembali mengulang memencet nomer Wina. Ada hal yang ingin dia dengar dari Wina.
“Ya ampun Rin, Baru juga pisah dari saya kamu udah kangen.” Sahut Wina dengan nada cerianya.
“Jingga. Aku mau nanya, boleh?” Teduh to the point.
“Apaan?”
“Barusan aku lihat Media sosial Hujan. Dia seperti cowok matre.” Teduh berhenti bicara.
“Kok kamu bisa ngomong begitu?” Wina mulai serius.
“Dia hanya suka seorang dokter. Wanita yang kaya raya maksudnya.”
“Masa sih? Tapi kok kelihatannya dia gak gitu.” Wina berusaha menenangkan Teduh.
“Entahlah Wina. Aku juga gak mau percaya tapi seolah semua statusnya menunjukkan kalau dia itu menilai orang dari materi.”
“Kamu sudah selidiki?”
“Dari apa yang orang-orang katakan, mungkin benar Win. Aku bukan siapa-siapa, aku bukan dari keluarga kaya raya. Aku hanya anak seorang guru yang sehari-hari hanya menggunakan motor. Sementara hujan mengharapkan wanita yang bermobil dan status dokter. Aku berhenti saja.” Ada nada pasrah terdengar dari ucapan Teduh.
“Serius Rin?” Wina terkejut. “Ya sudah berhenti saja. Dari awal dia memang bukan pria yang baik kalau saya lihat.”
“Aku mundur bukan karena aku tidak lagi menyukainya karena dia terlihat matre ya Win. Aku mundur karena aku tahu di gak mungkin milih aku jika dibanding wanita bermobil dengan status seorang dokter. Apalah saya Win dibanding calonnya.” Kembali nada Pasrah terdengar dari Arina.
“My dearest Teduh. Kamu itu gak ada bandingannya. Gak ada. Kamu itu satu dari ribuan. Cuma kamu, limited edition. Jangan minder begitu, You’re great!” Sambung Wina mencoba menyemangati.
“Terima kasih Wina.”
“Kembali kasih. Ehh bentar, tumben nih kamu manggil saya Wina.” Obrolan pun mulai berlanjut. Teduh dan Jingga selalu bisa membuat satu sama lainnya tertawa seolah setiap permasalahan yang ada hanya sekedar mampir lalu pergi dari kehidupan mereka.
Untuk Hujan...
Apa benar apa yang terlihat? Kamu lebih menyukai wanita kaya raya dibanding yang biasa saja? Apa materi selalu menjadi patokanmu? Aku ingin tidak mempercayainya namun tidak bisa. Beberapa omonganmu seolah menunjukkan kamu begitu menyukai uang. Padahal uang bukanlah segalanya, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Jika saja kamu tahu akan konsep itu.
Oh iya hujan, masihkah penyakit itu ada di tubuhmu? Setiap hari aku selalu ingin bertanya, apa kamu baik? Sehat? Apa makanmu teratur? Namun ada beberapa hal yang membuatku enggan untuk bertanya. Kamu terlalu sombong belakangan ini. Tapi entah kenapa aku tidak mempedulikannya. Jika saja Jingga ada disini, dia akan memakiku dengan sebutan “BODOH!”
Biarlah toh yang menyukaimu aku, yang selalu menjagamu dalam doa aku bukan jingga. Jika rindu ini datang, aku akan katakan padamu. Pria hebat yang selalu menjadi inspirasiku, favoritku.
Balon gas berwarna hijau Teduh terbangkan. Jauh menuju langit. Semua kehidupannya selalu tentang hujan. Kesukaan hujan, segala hal tentang hujan. Untuk kedua kalinya Teduh jatuh hati pada satu hati yang tidak menyukainya. Hujan.

“Selalu tentangmu hujan. Selalu. It’s always been you.”

"Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu..." - Hujan dan Teduh (Wulan Dewatra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar