Agustus 05, 2013

TEDUH DAN JINGGA

                 
“Saya tidak menangis. Ini karena anginnya yang terlalu kencang.” Ujar Teduh pada langit. Awan sedikit nakal hari ini, dia bergerombol menutupi matahari dan membuat Bumi menjadi teduh. Beberapa orang menyukainya, termasuk Teduh. Begitu dia menyebut dirinya sendiri. Entah berapa lama dia senang menggunakan nama itu untuk membuat dirinya nyaman.
            “Jika ada lima gelombang dalam air itu artinya dia akan datang.” Teduh lagi-lagi berkata sendiri. Laut hari itu begitu menenangkan, tidak ada ombak, hanya ketenangan yang ada disana. Beberapa orang yang memperhatikan teduh dengan sedikit heran. Gadis berkerudung sedang bermain dengan genangan air. Sesekali dia menginjak air itu pelan, lalu sesekali dia berkata pelan “Hujan datang, Hujan tidak datang!”
            Orang-orang yang melihatnya hanya saling bertukar pandang menganggap gadis ini gila atau memang dia hanya sedang memainkan perannya. Gadis itu kembali menatap langit, teduh masih menemaninya sebagaimana dia sering memanggil dirinya Teduh.
            “Hujan tidak akan datang.” Ucapnya begitu melihat genangan air hanya ada tiga gelombang. Seraya menghapus air matanya dia kembali berjalan dengan begitu senang. Teduh sangat menyukai Hujan, entah sejak kapan. Setiap kali hujan turun Teduh akan selalu tersenyum riang di bawahnya.
            “Ya halo!” Ucap Teduh dengan nada ceria.
            “Berhentilah bermain-main. Kamu bukan seorang aktris dalam drama korea.” Suara seorang gadis diseberang telepon membuat Teduh sedikit terkejut.
            “Kamu. Dimana?”
“Arah jam 9 Arina!” Katanya lalu melambai pada Teduh.
Dua sahabat ini seolah tidak peduli dengan pandangan orang-orang disekitar mereka. Mereka melakukan satu aksi setiap kali bertemu, “Teduh, Jingga, Sirius. We are Spy!” Ucap keduanya bersamaan sembari berhigh-five ria lalu tertawa bersamaan. Dua anak manusia ini selalu suka menyebut diri mereka sebagai bagian dari Bumi. Arina dengan nama Teduh, Wina dengan nama Jingga, dan Sirius adalah bintang kesukaan mereka.
“Hujan tidak akan berkunjung hari ini.” Ujar Teduh dengan begitu bahagia. “Itu artinya kegiatan mata-mata kita bisa dilanjutkan.” Sambungnya lagi.
“Sampai kapan kita berperan seperti ini? Ayolah Arina, sudah cukup kamu memata-matai Hujan. Dia baik-baik saja tanpamu.” Wina mencoba mengingatkan.
“Kita akan berhenti berperan jika hujan bertemu dengan Pelangi.” Raut wajah Teduh berubah sedih. Ada sesak yang dia rasa ketika menyebut Hujan dengan Pelangi. Dua pengandaian yang selalu dia senangi namun juga dia benci.
“Arina.” Ucap Wina dengan suara pelan. “Bisakah kita berhenti disini saja? Saya tahu kamu, begitu menyukai seseorang akan sulit untukmu berhenti menyukainya. Untuk kali ini saja Arin, berhenti.” Raut wajah Wina berubah serius kini. Teduh memperhatikannya dengan begitu heran.
“Saya sangat mau Jingga. Sangat mau melupakan Hujan. Tapi itu susah. Bayangan masa lalupun bisa saya lupakan ketika dia sudah ada yang urus. Hujan juga demikian.” Teduh berusaha tersenyum.
“Sebentar lagi saya ke Surabaya Rin. Ketika saya pergi, teman mata-matamu ini tidak lagi ada. Saya khawatir padamu. Kamu hanya akan melukai dirimu sendiri.”
“Teruntuk hujan. Saya tidak pernah terluka. Kamu cukup menyaksikan dari jauh, karena walau jauh Sirius tetap bisa mengawasi kita.” Teduh berdiri tepat di depan Jingga.
Langit memperhatikan dua anak manusia yang begitu menyukai bintang. Salah satunya terlalu menyukai bintang dan hujan. Yang satu terlalu ingin menyadarkan. Entah kegilaan atau obsesi yang begitu besar yang menghampiri kedua anak manusia ini. Yang langit tahu setiap malam Teduh selalu berdoa untuk Hujan. Ya, Ada doa Arina yang selalu di dengar Langit disetiap malam.
“Ketika kita tidak dapat menjaga seseorang yang kita sayangi secara langsung. Kita bisa menjaganya dengan doa. Langit akan selalu mendengarkan setiap doa yang kita ucapkan. Begitu caraku menjaga Adrean Gumilang, hujan yang selalu menjadi Favoritku.”
Wajah Arina tersenyum selalu membuat Wina senang. Tidak pernah dia melihat senyum yang begitu tulus. Arina senang akan hal-hal yang tidak biasa, dan Wina menyukainya. Banyak hal yang dia dapatkan selama berteman dengan Arina. Kebaikan, ketulusan, dan kejujuran. “Lalu bagaimana kamu jika saya tidak ada, Arina?” batin Wina.
“JINGGA!!” Panggil Arina dari kejauhan. Wina sontak kaget mendengarnya, buru-buru dia mendekat. “Saya akan baik-baik saja. Kamu harus kembali begitu mimpimu terwujud. Segera saya menyusulmu.” Senyum itu kembali mengembang. Wina lalu tersenyum, setidaknya dia tahu Arina akan baik-baik saja. Sejauh ini Teduh selalu kuat walau hujan datang dan menghapusnya. Yang Wina tahu, Teduh akan selalu setia menunggu Hujan berbalik padanya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar