“Saya tidak menangis. Ini karena anginnya yang terlalu kencang.” Ujar Teduh pada langit. Awan sedikit nakal hari ini, dia bergerombol menutupi matahari dan membuat Bumi menjadi teduh. Beberapa orang menyukainya, termasuk Teduh. Begitu dia menyebut dirinya sendiri. Entah berapa lama dia senang menggunakan nama itu untuk membuat dirinya nyaman.
“Jika ada lima gelombang dalam air
itu artinya dia akan datang.” Teduh lagi-lagi berkata sendiri. Laut hari itu
begitu menenangkan, tidak ada ombak, hanya ketenangan yang ada disana. Beberapa
orang yang memperhatikan teduh dengan sedikit heran. Gadis berkerudung sedang
bermain dengan genangan air. Sesekali dia menginjak air itu pelan, lalu
sesekali dia berkata pelan “Hujan datang, Hujan tidak datang!”
Orang-orang yang melihatnya hanya
saling bertukar pandang menganggap gadis ini gila atau memang dia hanya sedang
memainkan perannya. Gadis itu kembali menatap langit, teduh masih menemaninya
sebagaimana dia sering memanggil dirinya Teduh.
“Hujan tidak akan datang.” Ucapnya
begitu melihat genangan air hanya ada tiga gelombang. Seraya menghapus air
matanya dia kembali berjalan dengan begitu senang. Teduh sangat menyukai Hujan,
entah sejak kapan. Setiap kali hujan turun Teduh akan selalu tersenyum riang di
bawahnya.
“Ya halo!” Ucap Teduh dengan nada
ceria.
“Berhentilah bermain-main. Kamu
bukan seorang aktris dalam drama korea.” Suara seorang gadis diseberang telepon
membuat Teduh sedikit terkejut.
“Kamu. Dimana?”
“Arah
jam 9 Arina!” Katanya lalu melambai pada Teduh.
Dua
sahabat ini seolah tidak peduli dengan pandangan orang-orang disekitar mereka.
Mereka melakukan satu aksi setiap kali bertemu, “Teduh, Jingga, Sirius. We are
Spy!” Ucap keduanya bersamaan sembari berhigh-five ria lalu tertawa bersamaan.
Dua anak manusia ini selalu suka menyebut diri mereka sebagai bagian dari Bumi.
Arina dengan nama Teduh, Wina dengan nama Jingga, dan Sirius adalah bintang
kesukaan mereka.
“Hujan
tidak akan berkunjung hari ini.” Ujar Teduh dengan begitu bahagia. “Itu artinya
kegiatan mata-mata kita bisa dilanjutkan.” Sambungnya lagi.
“Sampai
kapan kita berperan seperti ini? Ayolah Arina, sudah cukup kamu memata-matai
Hujan. Dia baik-baik saja tanpamu.” Wina mencoba mengingatkan.
“Kita
akan berhenti berperan jika hujan bertemu dengan Pelangi.” Raut wajah Teduh
berubah sedih. Ada sesak yang dia rasa ketika menyebut Hujan dengan Pelangi.
Dua pengandaian yang selalu dia senangi namun juga dia benci.
“Arina.”
Ucap Wina dengan suara pelan. “Bisakah kita berhenti disini saja? Saya tahu
kamu, begitu menyukai seseorang akan sulit untukmu berhenti menyukainya. Untuk
kali ini saja Arin, berhenti.” Raut wajah Wina berubah serius kini. Teduh
memperhatikannya dengan begitu heran.
“Saya
sangat mau Jingga. Sangat mau melupakan Hujan. Tapi itu susah. Bayangan masa
lalupun bisa saya lupakan ketika dia sudah ada yang urus. Hujan juga demikian.”
Teduh berusaha tersenyum.
“Sebentar
lagi saya ke Surabaya Rin. Ketika saya pergi, teman mata-matamu ini tidak lagi
ada. Saya khawatir padamu. Kamu hanya akan melukai dirimu sendiri.”
“Teruntuk
hujan. Saya tidak pernah terluka. Kamu cukup menyaksikan dari jauh, karena
walau jauh Sirius tetap bisa mengawasi kita.” Teduh berdiri tepat di depan
Jingga.
Langit
memperhatikan dua anak manusia yang begitu menyukai bintang. Salah satunya
terlalu menyukai bintang dan hujan. Yang satu terlalu ingin menyadarkan. Entah
kegilaan atau obsesi yang begitu besar yang menghampiri kedua anak manusia ini.
Yang langit tahu setiap malam Teduh selalu berdoa untuk Hujan. Ya, Ada doa
Arina yang selalu di dengar Langit disetiap malam.
“Ketika kita tidak dapat menjaga
seseorang yang kita sayangi secara langsung. Kita bisa menjaganya dengan doa.
Langit akan selalu mendengarkan setiap doa yang kita ucapkan. Begitu caraku
menjaga Adrean Gumilang, hujan yang selalu menjadi Favoritku.”
Wajah
Arina tersenyum selalu membuat Wina senang. Tidak pernah dia melihat senyum
yang begitu tulus. Arina senang akan hal-hal yang tidak biasa, dan Wina
menyukainya. Banyak hal yang dia dapatkan selama berteman dengan Arina.
Kebaikan, ketulusan, dan kejujuran. “Lalu
bagaimana kamu jika saya tidak ada, Arina?” batin Wina.
“JINGGA!!”
Panggil Arina dari kejauhan. Wina sontak kaget mendengarnya, buru-buru dia
mendekat. “Saya akan baik-baik saja. Kamu harus kembali begitu mimpimu
terwujud. Segera saya menyusulmu.” Senyum itu kembali mengembang. Wina lalu
tersenyum, setidaknya dia tahu Arina akan baik-baik saja. Sejauh ini Teduh
selalu kuat walau hujan datang dan menghapusnya. Yang Wina tahu, Teduh akan
selalu setia menunggu Hujan berbalik padanya. Semoga.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar