Suara
bising jalanan jelas terdengar seolah memekakan telinga. Klakson-klakson mobil
yang saling sahut menyahut mengalahkan suara sirine ambulans. Langkah kakiku
makin ku percepat berusaha mencapai sebuah tempat makan untk berbuka puasa.
Orang-orang ramai bergandengan dengan pasangan mereka. Menyebrang jalan pun
mereka saling melindungi. Bedanya dengan kami, kami menjaga dalam jarak.
Jalanan di pantai Losari selalu
padat akan pengunjung. Jika di bulan Ramadhan para pengunjung yang datang sudah
pasti untuk melaksanakan sholat teraweh di mesjid terapung, ya begitu caraku
menyebut mesjid yang berdiri di atas laut itu. Bangunan megah itu memang
terlihat sangat indah tapi hanya sebagian orang yang diizinkan masuk kesana. Untuk
beberapa anak-anak yang terlihat seperti pengemis jarang ku dapati disana. Yang
ada hanya mereka yang menggunakan kaos bagus dengan jeans atau rok yang memang
terlihat cukup mahal.
“KAK KARIN!” teriak seseorang dari
luar rumah makan tempatku berbuka puasa. Sapaan khas itu jelas aku kenali.
Hanya anak-anak hebat ini yang berani memanggil namaku dengan salah. KARIN. Nama
yang terlalu bagus untuk rupa yang tidak begitu bagus. Aku menyukai panggilan
mereka, sebagai pembeda dari anak-anak lainnya.
Senyumku mengembang lebar begitu
melihat Mentari dengan gitarnya melintasi rumah makan tempatku melepas rasa
lapar. Segera dia ku panggil masuk. Adikkupun senang melihat bocah pintar itu.
Rambutnya sedikit rapi malam itu. Kuncir kuda menjadi pilihannya. Baru saja
kami ngobrol sebentar, tiba-tiba pemilik rumah makan berteriak dengan
seenaknya. “HEY! KELUAR! KELUAR!” Usirnya.
“Tidak apa-apa Bu!” Ucapku dengan
suara yang masih sabar. Mentari sudah hampir melangkah keluar rumah makan jika
saja tanganku tidak menahannya untuk pergi. Kembali teriakan itu keluar dari
mulut di pemilik rumah makan, Adikku makin kesal dibuatnya.
“Dia adik saya bu!” Jawabku lagi lalu mempersilahkan
mentari dan adiknya duduk bersama kami. Kali ini Mentari dan adiknya tamu,
bukan pengamen yang selalu diperlakukan layaknya kucing. Dibentak dengan suara
keras.
Manusia, bukankah diciptakan dengan hati? Hati yang
menjadi penasehat untuk mereka. Lantas kenapa status justru membuat hati mereka
beku? Apa bedanya manusia dengan binatang jika selalu memperlakukan manusia
lainnya dengan tidak sopan. Jika kita ingin di hargai seharusnya kita bisa
menghargai orang lain.
Mentari seorang pengamen. Dia sama seperti anak
lainnya. Punya mimpi menjadi seorang guru. Impian untuk bermanfaat bagi orang
lain kelak. Tugas kita, mengusahakan agar mimpi itu tetap ada dan agar mimpi
itu bisa terwujud.
Dikelas PASI mimpi dibangun dijalan. Di kelas PASI,
mereka yang diacuhkan, dibentak, dan diomeli selalu punya harapan untuk
bermanfaat. Anak-anak pantas untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.
Hanya Tuhan yang tahu masa depan seseorang, Tugas kita berupaya semaksimal
mungkin untuk tercapai masa depan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar