Agustus 02, 2013

Dijalan Mimpi Di bangun

Suara bising jalanan jelas terdengar seolah memekakan telinga. Klakson-klakson mobil yang saling sahut menyahut mengalahkan suara sirine ambulans. Langkah kakiku makin ku percepat berusaha mencapai sebuah tempat makan untk berbuka puasa. Orang-orang ramai bergandengan dengan pasangan mereka. Menyebrang jalan pun mereka saling melindungi. Bedanya dengan kami, kami menjaga dalam jarak.
            Jalanan di pantai Losari selalu padat akan pengunjung. Jika di bulan Ramadhan para pengunjung yang datang sudah pasti untuk melaksanakan sholat teraweh di mesjid terapung, ya begitu caraku menyebut mesjid yang berdiri di atas laut itu. Bangunan megah itu memang terlihat sangat indah tapi hanya sebagian orang yang diizinkan masuk kesana. Untuk beberapa anak-anak yang terlihat seperti pengemis jarang ku dapati disana. Yang ada hanya mereka yang menggunakan kaos bagus dengan jeans atau rok yang memang terlihat cukup mahal.
            “KAK KARIN!” teriak seseorang dari luar rumah makan tempatku berbuka puasa. Sapaan khas itu jelas aku kenali. Hanya anak-anak hebat ini yang berani memanggil namaku dengan salah. KARIN. Nama yang terlalu bagus untuk rupa yang tidak begitu bagus. Aku menyukai panggilan mereka, sebagai pembeda dari anak-anak lainnya.
            Senyumku mengembang lebar begitu melihat Mentari dengan gitarnya melintasi rumah makan tempatku melepas rasa lapar. Segera dia ku panggil masuk. Adikkupun senang melihat bocah pintar itu. Rambutnya sedikit rapi malam itu. Kuncir kuda menjadi pilihannya. Baru saja kami ngobrol sebentar, tiba-tiba pemilik rumah makan berteriak dengan seenaknya. “HEY! KELUAR! KELUAR!” Usirnya.
            “Tidak apa-apa Bu!” Ucapku dengan suara yang masih sabar. Mentari sudah hampir melangkah keluar rumah makan jika saja tanganku tidak menahannya untuk pergi. Kembali teriakan itu keluar dari mulut di pemilik rumah makan, Adikku makin kesal dibuatnya.
“Dia adik saya bu!” Jawabku lagi lalu mempersilahkan mentari dan adiknya duduk bersama kami. Kali ini Mentari dan adiknya tamu, bukan pengamen yang selalu diperlakukan layaknya kucing. Dibentak dengan suara keras.
Manusia, bukankah diciptakan dengan hati? Hati yang menjadi penasehat untuk mereka. Lantas kenapa status justru membuat hati mereka beku? Apa bedanya manusia dengan binatang jika selalu memperlakukan manusia lainnya dengan tidak sopan. Jika kita ingin di hargai seharusnya kita bisa menghargai orang lain.
Mentari seorang pengamen. Dia sama seperti anak lainnya. Punya mimpi menjadi seorang guru. Impian untuk bermanfaat bagi orang lain kelak. Tugas kita, mengusahakan agar mimpi itu tetap ada dan agar mimpi itu bisa terwujud.

Dikelas PASI mimpi dibangun dijalan. Di kelas PASI, mereka yang diacuhkan, dibentak, dan diomeli selalu punya harapan untuk bermanfaat. Anak-anak pantas untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Hanya Tuhan yang tahu masa depan seseorang, Tugas kita berupaya semaksimal mungkin untuk tercapai masa depan yang lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar