Langit biru itu terlihat begitu cerah siang ini, satu kabar lagi bahwa seseorang telah bangun dari tidurnya setelah empat bulan ia terlelap. Beberapa orang yang hadir di hari itu seolah melihat sebuah keajaiban langsung. Tubuh yang sudah divonis mati kini kembali berfungsi seperti semula. Nafas itu terdengar cukup keras, mata bulat itu kembali melihat dunia, bibir kecil itu juga kembali bersuara walau samar nyaris tak terdengar sama sekali.
"K-kenapa, semuanya nangis?" ucap Arina dengan suara yang samar. Orang tuanya terus terisak tak tertahankan, entah kenapa air mata terus mengalir keluar tak terhenti sama sekali. Beberapa teman Arina juga ikut menangis haru menyaksikan kekuasaan Tuhan.
"Kamu koma empat bulan lebih nak, sekarang kamu bangun. bagaimana mungkin ibu sama bapak gak nangis." Jelas Mama Arina masih dengan mata merah. Ayahnya justru makin terisak disampingnya seraya memegang jemarinya yang lemah. Dua sahabat baiknya juga datang, dan beberapa anak didiknya ikut berkunjung siang itu.
"... Ja- jangan nangis... lagi... mah.." Ucap Arina berusaha tersenyum dari balik alat bantu pernafasannya. Sebuah pelukan hangat yang ia rindukan mendarat di tubuhnya, satu persatu orang yang hadir disana memeluknya sebagai ucapan selamat datang kembali. Adik-adiknya juga ikut memeluknya, Arina menerima dengan senyuman yang masih terlihat di wajah pucatnya.
| Senja |
Seseorang terlihat berlari, dengan sebuah ransel di punggungnya dan beberapa file yang dia bawa, dia tampak berburu dengan waktu. Wajahnya tak henti memperlihatkan raut bahagia, senyum yang begitu tulus terlihat jelas di wajah teduh itu. Seolah sejam takkan cukup jika dia hadir disana, dia makin mempercepat langkahnya. Tujuannya adalah kamar Dandelion : Arina Wijaya.
Adith berhenti tepat di depan pintu kamar tempat dimana Arina berbaring selama empat bulan lebih. Dia mengatur nafasnya sejenak, dari sebuah kaca kecil yang terpasang di pintu dia melihat apakah ruangan itu kosong atau masih ada orang yang berjaga. Jika perhitungannya tidak salah setiap jam 5.00 pm Arina akan sendiri untuk satu jam. Dan entah kenapa hari itu dia begitu ingin melihat mata yang selalu cerita itu. Sudah empat bulan lebih rindu itu tersimpan rapat, dan sekarang waktu yang tepat untuk mengeluarkannya.
Arina masih tertidur seperti biasa di tempat tidurnya, wajahnya masih terlihat pucat. Perlahan Arina membuka matanya pelan, melihat siapa yang datang menjenguknya sesore ini. Adith tampak gelagapan melihat reaksi dari Arina. Hari ini dia tidak membawa apa-apa, kabar tentang bangunnya Arina dari koma selama empat bulan lebih membuatnya begitu senang hingga lupa membawa bunga kesukaan Arina.
"Didit..." Sahut Arina masih dengan suara pelan yang nyaris tidak terdengar.
"Kamu masih memanggilku dengan sebutan itu." Balasnya sambil tertawa. Arina membalas senyuman itu, berusaha bersikap sama ketika mereka bertemu.
"Boleh saya tahu kenapa kamu suka memanggil saya dengan sebutan Didit sementara orang-orang yang dekat dengan saya memanggil saya Adit?" Satu pertanyaan yang selalu ingin di tanyakan Adith akhirnya dia tanyakan juga.
"Didit... dua huruf vokal yang diapit tiga konsonan. bukankah mereka terlihat lucu jika di tulis." Jelas Arina. "Saya... suka dengan susunannya." sambungnya kemudian.
Adith tersenyum lagi, jawaban yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Dua huruf vokal yang diapit tiga konsonan terlihat lucu? Arina memang selalu bisa membuatnya berkata "Ada-ada saja." yah, selalu ada-ada saja jika dekat dengan gadis ini. Dia beda dari yang lain, dia suka apa yang perempuan pada umumnya tidak suka. Dia tidak begitu suka boneka tapi punya satu boneka yang tidak pernah dia cuci. Dia tidak suka warna pink tapi punya motor warna pink. Dia tidak suka pakaian yang begitu mencolok tapi suka melihat warna-warna terang di lukisan. Dia tidak suka menangis di hadapan orang lain, tapi selalu menangis jika melihat orang yang kesulitan dijalan. Dia tidak suka rumah sakit, tapi pada akhirnya harus berteman dengan rumah sakit. Terlebih, dia begitu suka anak-anak, anak jalanan sekalipun selalu membuatnya senang bukan jijik, Dan juga dia suka dandelion, bunga yang terlihat seperti rumput liar.
"Selamat datang kembali, Rin. Senang kamu disini lagi." Sahut Adith.
| Rain |
Sore itu hujan ikut bergembira, dia turun dengan riangnya membasahi ruas-ruas jalan yang telah lama kering. Memberi sebuah bau yang khas yang beberapa pecinta hujan rindukan. Seperti halnya Arina, hujan selalu jadi favoritnya, sebab jika hujan datang sebuah kenangan akan secara tidak sengaja mengantarnya pada sebuah senyuman yang begitu dia rindukan. Sama halnya Adith yang juga menyukai hujan, juga senja yang selalu terlihat anggun.
| Senja dan Hujan |
Seperti senja yang merindukan hujan, sore itu semua rindu tersampaikan. Senja akhirnya bertemu dengan hujan, bercakap seolah mereka hanya berpisah selama sejam bukan dalam waktu yang lama. Senja yang begitu merindukan hujan, akhirnya bertemu di sore yang indah. Tak hentinya senja melebarkan senyumannya pada hujan yang menghampiri mereka. Senja dan hujan sore itu mengukir sebuah cerita, cerita yang mungkin tidak pernah berakhir dengan kebahagiaan. Karena senja dan hujan tidak pernah di takdirkan bersama, sama halnya teduh. Hujan dan teduh tidak pernah di takdirkan untuk sejalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar