Mei 16, 2013

M I R A C L E

     Beberapa orang telah berkumpul di ruangan yang cukup luas itu. Peralatan medis masih terpasang di tubuh Arina. Sedetik ayah dan ibunya terkejut, tidak ada denyut jantung yang muncul di monitor. Datar. Garis lurus. Namun beberapa menit kemudian, garis itu kembali berbentuk naik dan turun. Beberapa teman dekat Arina juga hadir disana. Si pemilik wajah teduh juga masih disana, menggenggam erat sebuah paper crane yang dia ambil dari kamar Arina atas seizin orang tua Arina.
     
      "Setiap manusia akan mati. kembali kepada Penciptanya. Siapapun itu..."
      Aku percaya pada kematian, kehidupan setelah kematian. Aku percaya itu. Bahwa di langit sana Tuhan sedang mempersiapkan sebuah rumah yang begitu indah untukku. Bahwa di langit sana ada sebuah kehidupan yang jauh lebih baik di banding ini. Bahwa di langit sana ada seseorang yang telah menungguku.
      Aku juga percaya akan keajaiban. Bahwa orang yang sekarat sekalipun ketika Tuhan berkata "Belum saatnya" dia akan terus hidup hingga Tuhan mengutus Malaikat Izrail untuk menjemputnya. Aku juga percaya bahwa keajaiban itu hanya terjadi pada segelintir orang. Tidak secara menyeluruh. Keajaiban hanya akan terjadi jika kita percaya. Percaya bahwa dia benar-benar nyata.
     Dan aku percaya, penyakit ini akan sembuh. Bukan untukku tapi untuk memperbaiki kesalahan yang dulu aku buat. Untuk meluruskan hal yang salah agar aku punya tempat yang layak di Surga sana. Hal yang dari dulu sangat ingin aku lakukan. Bertemu dengan si wajah teduh "Fitri".

     Fitri masih ingat jelas sebuah tulisan yang dia baca di salah satu paper crane di kamar Arina. Tulisan itu untuknya, entah apa yang salah dari mereka. Sejauh ini Fitri merasa baik-baik saja dengan Arina, tidak ada kesalahan yang dia buat yang membuat Fitri marah padanya. Dokter masih terlihat sibuk memantau, sementara keluarga Arina cukup sedih melihat kondisi anaknya yang kian memburuk.
     "Kondisinya sudah stabil. Ada penolakan obat yang terjadi di tubuhnya yang membuat denyut jantungnya melemah. Kalian bisa tenang sekarang."
     Suara-suara isak tangis masih terdengar samar. Fitri mendekat, dia berusaha menenangkan orang tua Arina. Selama tinggal disini Fitri memang banyak berhubungan dengan orang tua Arina. Mereka sudah seperti orang tua kandung baginya. Setiap hari akan ada selalu nasehat yang diberikan untuknya. Dan setiap malam sebelum tidur, akan selalu ada pengajian untuk Arina.
     "Cepat bangun Kak. Saya lelah menunggu kamu disini. Saya juga punya kehidupan disana, bukan hanya disini. Jika kamu tidak bangun sesegera mungkin, tidak akan ada kesempatan kita untuk bertemu." Fitri berbisik di telinga Arina. Koma, bukan berarti Arina lumpuh secara total. Dia masih dapat mendengar. Setidaknya itu yang dia percaya.

We just have to believe
     Kondisi kamar Arina kembali kosong. Sore hari tepat jam 5.00 pm, Arina akan sendirian untuk beberapa jam. Seseorang tengah duduk di depannya, dia sibuk membaca sebuah buku yang menurut Arina buku itu wajib di baca. Lima belas menit dia habiskan didepan Arina membaca dengan suara yang sedikit keras, karena menurutnya orang yang koma akan selalu mendengar suara. Bunga dandelion lagi-lagi dia bawa. Kali ini bukan berhiaskan pita berwarna jingga seperti kesukaannya, melainkan sebuah pita berwarna hitam. Warna kesukaan Arina. 
     "Kenapa kamu belum bangun juga? Gak capek apa tidur terus? Banyak yang nungguin loh." Sahutnya berusaha bercanda.
     "Ayolah Rin. Tidakah kamu rindu dengan Yoga? Atau pasukan At-Tiin? Mereka terus menanyakanmu." Pria itu masih berusaha membangunkan Arina.
     "Oh iya. Satu lagi pemberian saya hari ini, jika saja kamu bangun kamu akan tahu manusia ini yang kebetulan bernama Adithya Hairun selalu mengunjungimu. Dan membuatkanmu paper crane."

5 Bulan yang lalu...
     "Hari ini kita belajar membuat paper crane." Arina memegang sebuah kertas origami berwarna merah di tangannya. Seluruh pasukan At-Tiin tampak antusias melihat Arina mengarahkan mereka untuk membuat sebuah paper Crane.
     "Kak kenapa gak buat kupu-kupu saja?" Uya, bocah berumur 9 tahun protes.
     "Paper crane jauh lebih baik. Kalian tahu, Paper Crane itu lambang apa?" Semangat itu jelas terlihat di wajah Arina. Beberapa anak saling bertatapan seraya menggelengkan kepala tanda mereka tidak tahu. "Paper crane itu lambang sebuah keajaiban. Di Jepang, ada sebuah kisah. Jika kita berhasil membuat seribu paper Crane maka satu keinginan kita akan terwujud."
   "Harus sebanyak itu kak?" Harnia bersuara. Arina mengangguk lalu tersenyum tanda mengiyakan pertanyaan Harnia. Anak-anak kembali sibuk membuat beberapa paper crane seperti yang diajarkan Arina.
     "Kenapa kamu mengajarkan anak-anak untuk percaya pada dongeng?" Tanya Adith di sela-sela break belajar pasukan At- Tiin. 
     "Karena kepercayaan itu hal yang paling sulit dibangun Dit." Arina tersenyum. Raut wajah Adith tampak bingung mencerna omongan Arina.
     "Ketika mereka besar nanti, mereka akan tahu bahwa dongeng tidak akan pernah jadi nyata. Namun jika mereka membangun kepercayaan dari sekarang, mereka akan yakin bahwa mimpi yang tinggi sekalipun bisa mereka raih dengan cara berusaha." Jelasnya.
     "Loh, bukannya kita sering ngasih tahu mereka itu ya?"
     "Kamu tahu kenapa paper Crane melambangkan keajaiban?" Arina bertanya balik yang dijawab gelengan kepala dari Adith.
     "Karena disana tersembunyi kerja keras. Kita membuat seribu paper crane artinya kita berusaha kan. Kita bekerja keras untuk bisa mencapai angka itu. Dari usaha kita melipat kertas-kertas itu kepercayaan pun ikut terbangun. Kepercayaan itu yang membawa kita pada keajaiban terciptanya seribu paper crane." Jelas Arina lagi dengan semangat.
     
     Adith menaruh dua buah paper crane berwarna jingga dan hitam di meja samping tempat tidur Arina. "Seperti kamu yang percaya akan hal-hal kecil bisa menjadi besar. Saya juga percaya, kamu akan segera membuka mata."
     Senja sore itu hanya memperhatikan. Dua manusia yang tidak diciptakan untuk bersama sedang membahas sebuah keajaiban yang mungkin tidak pernah ada untuk mereka. Senja dan jingga hanya mampu mengamati, sesekali teduh pun ikut melihat mereka. Berdoa agar hujan tidak terlalu cepat datang dan mengusir teduh jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar