Mei 12, 2013

H O P E

     Lorong-lorong itu begitu sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat berjalan mondar-mandir. Sebagian terlihat begitu cemas dan sebagian lagi duduk dengan santainya di depan kamar-kamar yang berderet rapi dengan nama bunga. Suara langkah kaki terdengar begitu keras, senja hari itu hampir menutup hari. Sosok pria dengan tas ransel, kemeja biru dan celana Jeans terlihat sedang terburu-buru melangkah menuju satu kamar. Dandelion : Arina Wijaya. Dia berhenti tepat di depan kamar yang bertuliskan demikian. Jantungnya tiba-tiba berdetak begitu cepat, dia mengintip sebentar memastikan bahwa ruangan itu telah kosong setiap jam dia berkunjung. Tepat Jam 5.15 PM.
     Pria itu masuk sambil membawa sebuah bunga dengan Pot yang telah dibungkus plastik dan diberi hiasan pita berwarna Jingga. Warna yang menjadi favoritnya sejak lama. Senyumnya sedikit terlihat di wajah teduhnya. Wajah yang lelah setelah beraktivitas seharian tidak dia tampakan, dia terlihat begitu senang berdiri dihadapan seorang gadis yang dia sukai.
     "Aku datang." Katanya seraya meletakkan bunga yang dia pegang dari tadi. Alat-alat medis yang menempel di tubuh Arina membuat pria ini tidak lagi tersenyum. Dia merasa iba, juga merasa sedih. Hampir empat bulan lebih Arina terbaring tidak sadarkan diri. Setelah operasi empat bulan yang lalu, Arina tidak lagi pernah membuka matanya. Pria itu masih duduk dihadapan Arina, tepat dimeja tempat dia menaruh bunga, dia melihat buku sketsa milik Arina. Beberapa halaman dalam buku itu adalah wajahnya.
     Memorinya kembali menjelajah dengan waktu. Dia ingat bagaimana dulu gadis ini meminta padanya untuk digambarkan sebuah rumah. Waktu itu pria ini hanya berkata, "Liat nanti Rin, hehehe." Secepat mungkin pria itu mengambil pensil di bagian belakang halaman yang masih kosong dia mulai menggambarkan sebuah rumah untuk Arina. Rumah yang sederhana seperti yang pernah dia bilang di tweetnya. Sebuah rumah bertingkat, dan beberapa pohon palem di halaman yang cukup luas. Di bagian belakang dia menggambar sebuah gazebo.
     "Ini janji saya sama kamu." Pria itu meletakkan kembali buku sketsa milik Arina
     "Dan sebagai hadiah tambahan, saya bawakan bunga kesukaanmu. Dandelion." Sambungnya. "Cepat bangun. Cepat kembali."


Enam bulan yang lalu...
     "Kamu tahu Arti dari bunga Dandelion?" Tanya Arina pada Yoga, seorang anak penderita kanker otak. Jemarinya masih memegang setangkai bunga Dandelion. Yoga memperhatikan setiap detail bunga yang di pegang Arina.
     "Coba kamu tiup." Ucap Arina lagi. Kali ini Yoga mengikuti apa yang Arina sarankan. Dia meniup kencang bunga itu hingga berterbangan dengan angin. Yoga sempat terkejut, spontan dia berucap "Bunganya rusak kak!"
       Arina tertawa pelan, "Bunga dandelion memang rapuh jika ditiup. Dia akan langsung terbang jauh mengikuti angin. Dan ketika benihnya jatuh di tempat manapun dia akan tumbuh lagi. Dan membawa kehidupan baru lagi."
     Yoga terlihat tidak begitu mengerti dengan apa yang dia ucapkan Arina. Kepalanya dia miringkan ke wajah Arina. Wajah polos bocah berusia 7 tahun itu membuat Arina kembali tersenyum. "Kamu itu seperti bunga Dandelion Yoga. Diluar kamu tampak rapuh, tapi bagian dalam tidak. Kamu kuat seperti bunga ini. Kamu bisa bertahan dimana saja seperti bunga ini bisa tumbuh dimana saja. Penyakit kamu memang membuatmu terlihat lemah, tapi kamu justru memberi banyak kehidupan baru untuk yang lain." Jelas Arina.
     "Yoga masih tidak mengerti kak." Yoga kembali menatap bunga Dandelion yang tidak lagi berbunga.
     "Bagaimanapun Tuhan memberi kamu sakit, kamu harus percaya bahwa apa yang kamu harapkan bisa terwujud. sama seperti bunga ini."
     Yoga mengangguk tanda ngerti, "Ohh Yoga tahu. maksud kakak, Yoga itu sudah ngasih kehidupan baru untuk Kak Arina juga kakak-kakak yang lain kan?" Arina mengangguk. "Juga maksud kak Arina Yoga gak boleh nyerah kan?" Arina kembali mengangguk.
     Sepasang mata tengah mengawasi mereka, tersenyum lalu berkata pelan "Dandelion. Harapan. Kamu. Entah sejak kapan saya mulai menyukaimu."


Pria itu melangkah keluar, bunga itu dia biarkan disana. Sebelum pergi dia sempat membisikan sebuah kalimat untuk Arina, "Kamu seperti dandelion ini. Kamu memberi kehidupan baru untuk yang lain, kuat walau terlihat rapuh. Kamu itu harapan. Jadi cepat kembali, karena mimpi tidak akan pernah besar tanpa sebuah harapan." Dibuku sketsa Arina, tepat disudut kanan bawah dia menulis inisial namanya "A. H"

2 komentar: