Maret 26, 2013

Rumah – Rumah Tuhan


Rumah Allah
             Suara-suara disiang hari di kota yang cukup ramai penduduknya ini terdengar begitu bising. Mobil-mobil yang saling bersaing suara klakson, motor-motor yang mengeluarkan suara yang mengerikan, dan anak-anak yang tengah sibuk menawarkan koran di jalanan tampaknya sudah menjadi pemandangan wajar di kota-kota besar. Sesekali saya melirik seorang gadis kecil yang tengah memperbaiki topinya, membuat wajahnya terlindung dari panasnya Matahari.
            Lalu sesekali juga saya melihat seorang wanita dengan bayi di gendongannya, membawa sebuah cangkir yang dia gunakan untuk memelas. Dulu ketika saya belum tahu, saya pikir wanita itu benar-benar menggendong anaknya, tapi ternyata anak itu justru anak yang mereka gunakan untuk mencari simpati dari para pengguna Jalan yang terlihat lebih baik di banding mereka.
            Dan untuk kesekian kalinya suara klakson dari sebuah mobil Avanza Hitam membangunkan saya dari khayalan-khayalan tentang mereka yang bertahan hidup dengan cara yang tidak wajar. Tujuan utama hari itu adalah kampus, tugas harus dikumpul tepat waktu menjadi satu-satunya alasan kenapa saya harus mengalahkan rasa malas saya ketika itu.
            Pemandangan di jalanan yang tadi saya lihat sempat kembali terulang di dalam kampus. Beberapa anak kecil menjajakan koran, dan lainnya menawarkan minuman dingin. Tubuh kurus dengan kulit yang gosong dan bau matahari menjadi penanda mereka. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menatap dengan jijik. Bukan keinginan mereka kan terlahir sebagai keluarga luar biasa. Saya senang menyebut anak-anak jalanan yang bertahan hidup dengan sebutan “Anak luar biasa”, sebutan itu pantas untuk mereka karena hanya mereka yang mampu bertindak seperti itu, memperjuangkan kehidupannya untuk sesuap nasi dan secercah harapan bahwa dengan hanya dengan uang ‘Manusia bisa menghargai manusia lainnya.’
            Sembari menunggu seorang teman, seorang bocah lelaki dengan baju kebesaran dan topi yang tampak kotor duduk disamping saya. Di tangannya ada beberapa tumpukan koran juga majalah yang sepertinya belum laku dari pagi hari.
            “Koran kak?” Ucapnya sembari memperlihatkan beberapa jenis koran yang dia pegang. Ada Kompas, Fajar, Tribun Timur, dan Seputar Indonesia. “Atau mau beli buku TTS kak?” Sambungnya lagi sambil memperlihatkan beberapa buku TTS yang bersampulkan foto artis yang entah siapa.
            Saya tersenyum melihat gerak-geriknya, Sesekali dia menatap saya dengan tatapan ‘Jadi beli gak sih?’ lalu sesekali dia melayangkan pandangannya mencari sosok orang yang ingin membeli jualannya.
            “Kamu gak sekolah dek?” Tanyaku kemudian yang membuatnya berbalik kemudian memberanikan diri menatap saya lama.
“Sekolah kak, tapi sudah pulang.”
“Kamu bisa baca?” Tanya saya lagi, si anak lelaki itu memperbaiki topinya. Dia tersenyum sebentar lalu menjawab dengan polosnya, “Kalau koran saya dibeli saya jawab deh pertanyaan kakak.”
Ajaib bukan, bagaimana seorang anak bisa dengan mudahnya mempelajari tehnik marketing. Padahal dia masih terbilang cukup kecil. Saya yakin, bukan sekolah yang membuatnya seperti itu tapi pengalaman. Bukankah selalu tertulis di buku tulis “Pengalaman adalah guru yang paling baik” dan itu terbukti dengan ungkapan anak itu.
“Saya beli koran kompasnya. Satu saja!” Ucapku lagi sebelum dia menambahkan pernyataan yang mengharuskan saya membeli dua koran. “Lalu jawabannya mana?”
Anak itu berfikir sebentar, “Saya bisa baca tapi tidak begitu lancar. Masih belajar kak!”
“Kamu kelas berapa?” kembali pertanyaan keluar dari mulut saya.
“Kelas 5. Tapi saya hebat dalam berhitung!” sahutnya dengan penuh rasa bangga.
Kami ngobrol lama, obrolan yang sebenarnya tidak begitu penting tapi berhasil membuat saya ingin terus berbicara hingga suara-suara panggilan untuk menghadap Allah bergema dari Speaker mesjid. Anak lelaki yang mengenakan baju kebesaran itu kembali merapikan topinya, dia kembali mengangkat jualannya, berjalan perlahan lalu berkata “Saya sembahyang dulu kak. Biar jualan laris manis. Terima kasih.”[ ]

Potret Hidup Jalanan
Lalu kembali suara adzan itu yang mempertemukan saya pada seorang gadis penjual gorengan yang setiap dzuhur nongkrong di teras mesjid seraya mendekati beberapa mahasiswa yang tengah sibuk berdiskusi atau sekedar berbagi cerita tidak begitu penting. Bakwan, jalankote, dan lumpia menjadi jualan khasnya. Gadis dengan tubuh kecil ini selalu menggunakan jilbab. Sesekali jika ngobrol dengan saya dia selalu menggunakan ponsel saya untuk bermain game Jewel Master. Kala itu Nokia N70 masih menjadi ponsel keren.
Saya juga ingat bagaimana dia bercerita bahwa beberapa kali dia sempat diusir oleh satpam ketika didapat berjualan di dalam kampus. Namun keinginannya untuk terus menghasilkan uang untuk keluarga tercintalah yang membuatnya selalu berhasil menghindari satpam yang menurut saya terlalu berlebihan. Ketika saya bertanya “Ibu kamu pekerjaannya apa?” Dia dengan bangga menjawab, “Ibu saya tukang cuci baju kak. Sehari dia bisa mencuci berbaskom-baskom pakaian kotor.”
Jika sekarang pertanyaan itu di lontarkan kepada mereka para remaja yang memiliki gengsi tinggi, akankah mereka akan menjawab juga dengan bangga mengatakan apa pekerjaan orang tua mereka. Dulu saya selalu bangga, ayah saya seorang supir angkot merangkap seorang dosen. Kenapa? Karena tidak semua orang bisa bangga memperlihatkan pekerjaannya saat bertemu dengan kerabatnya tanpa sengaja dijalan.
Dan saya masih ingat, saya sempat menjanjikan sebuah rok putih bercorak biru pada gadis kecil ini. Namun, beberapa bulan setelah saya bertemu dengannya saya tidak lagi bisa melihatnya. Yang saya tahu, dia tinggal di dekat tol, sepulang sekolah dia akan berjalan dari rumah untuk menjajakan jualannya yang bahkan bukan ibunya yang membuatnya. Jadi setiap kali ada orang yang membelinya dia hanya mendapat keuntungan 1000 rupiah. Tidakkah itu mengiris hati? Saat uang seribuan kita hanya kita abaikan, seorang gadis kecil justru begitu menginginkannya. [ ]

Lalu, tadi sepulang kantor kembali di rumah Tuhan saya dipertemukan dengan seorang bocah laki-laki yang mengenakan celana sekolah dan baju kaos juga celana training yang dia sangkutkan di lehernya. Bocah sekarang memang benar-benar aneh. Baru memasuki area parkir mesjid mereka sudah berebutan untuk menjaga motor saya, “Biar saya yang jagain kak. Gak akan hilang kok helmnya.” Ucapnya sambil memainkan celana training yang menggantung di lehernya.
Saya tersenyum melihat tingkah bocah menggemaskan itu. Anak-anak selalu punya cara untuk menghipnotis kita agar tersenyum. Karena ini setiap kali melihat anak-anak saya akan jatuh cinta pada mereka. Seusai sholat, kembali lagi obrolan tidak penting terjadi diantara kami.
“Nama kamu siapa?” Tanya saya sebelum memberikan imbalan atas jasa mereka.
“Israq kak.” Ucapnya sambil tersenyum malu-malu. Kembali saya mengulang pertanyaan yang sama, maklum kebisingan selalu bisa mengalahkan suara bocah yang bahkan sedang sangat bersemangat. Dan kembali jawaban yang sama yang saya terima darinya. Makanya mari kita panggil dia dengan sebutan Israq.
“Kamu sekolah?” kembali saya melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah ketahuan jawabannya. Jelas saya Israq menggunakan celana merah dengan kantong disamping kiri dan kanan pahanya. Jelaslah itu celana yang sering digunakan anak SD. Ia mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan saya.
“Kamu bisa baca?” kali ini seorang teman yang bertanya. Israq menggeleng, lalu tersenyum malu-malu. Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkah bocah lucu satu ini. Sebelum pergi saya memberikan selembar uang untuknya, sebagai imbalan karena telah menjaga motor saya. Dia tersenyum, mengucapkan terima kasih lalu berlari menuju kumpulan temannya. Tertawa terbahak, bercanda seolah tidak ada kesulitan yang dihadapinya.
“Kak, kita ngajarin anak itu saja gimana?”
Daerah Rappocini memang tujuan observasi saya dengan beberapa kegiatan yang akan saya lakukan. Dari artikel yang saya baca, beberapa masyarakat disana berasal dari keluarga sederhana, dan bahkan dikatakan kumuh dengan melihat kondisi mereka. Motor melaju sedikit cepat, kembali dua bocah yang saya temui ketika Kuliah bergantian tersenyum di pelupuk mata saya.
Rumah – rumah Tuhan, disana akan selalu ada tawa anak-anak. Disana akan selalu ada pelajaran hidup. Jika lelah menyerangmu dan membuatmu berfikir kehidupanmu begitu membosankan, berkunjunglah ke rumah Tuhan. Habiskan waktumu untuk ngobrol dengan mereka maka kamu akan tahu Kehidupan yang kamu katakan Jenuh dan membosankan sebenarnya sangat diharapkan oleh orang lain.

Anak di rumah Tuhan
Hanya di Rumah Tuhan kita bisa mendapatkan hal yang baru. Tempat dimana pelajaran berkeliaran, tempat dimana kita bisa dengan tenangnya mendengarkan lantunan ayat suci-Nya, tempat dimana akan selalu ada anak-anak yang kita temui dengan kisah yang berbeda, tempat dimana kita bisa merasa damai, dan tempat dimana kita selalu ingin terlihat cantik.






Teruntuk kalian yang pernah singgah dan memberikan pelajaran hidup padaku, hiduplah seperti apa yang Tuhan rencanakan untuk kalian. Jika kalian mendapat celah untuk mengubahnya jangan ragu untuk meminta pada-Nya, karena DIA akan selalu ada untuk kita, kamu, dan kamu.

Belajar untuk belajar, Terus bermimpi Dek!!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar