Suara-suara
disiang hari di kota yang cukup ramai penduduknya ini terdengar begitu bising.
Mobil-mobil yang saling bersaing suara klakson, motor-motor yang mengeluarkan
suara yang mengerikan, dan anak-anak yang tengah sibuk menawarkan koran di
jalanan tampaknya sudah menjadi pemandangan wajar di kota-kota besar. Sesekali
saya melirik seorang gadis kecil yang tengah memperbaiki topinya, membuat
wajahnya terlindung dari panasnya Matahari.
Lalu sesekali juga saya melihat
seorang wanita dengan bayi di gendongannya, membawa sebuah cangkir yang dia
gunakan untuk memelas. Dulu ketika saya belum tahu, saya pikir wanita itu
benar-benar menggendong anaknya, tapi ternyata anak itu justru anak yang mereka
gunakan untuk mencari simpati dari para pengguna Jalan yang terlihat lebih baik
di banding mereka.
Dan untuk kesekian kalinya suara
klakson dari sebuah mobil Avanza Hitam membangunkan saya dari khayalan-khayalan
tentang mereka yang bertahan hidup dengan cara yang tidak wajar. Tujuan utama
hari itu adalah kampus, tugas harus dikumpul tepat waktu menjadi satu-satunya
alasan kenapa saya harus mengalahkan rasa malas saya ketika itu.
Pemandangan di jalanan yang tadi
saya lihat sempat kembali terulang di dalam kampus. Beberapa anak kecil menjajakan
koran, dan lainnya menawarkan minuman dingin. Tubuh kurus dengan kulit yang
gosong dan bau matahari menjadi penanda mereka. Bahkan ada beberapa dari mereka
yang menatap dengan jijik. Bukan keinginan mereka kan terlahir sebagai keluarga
luar biasa. Saya senang menyebut anak-anak jalanan yang bertahan hidup dengan
sebutan “Anak luar biasa”, sebutan itu pantas untuk mereka karena hanya mereka
yang mampu bertindak seperti itu, memperjuangkan kehidupannya untuk sesuap nasi
dan secercah harapan bahwa dengan hanya dengan uang ‘Manusia bisa menghargai
manusia lainnya.’
Sembari menunggu seorang teman,
seorang bocah lelaki dengan baju kebesaran dan topi yang tampak kotor duduk
disamping saya. Di tangannya ada beberapa tumpukan koran juga majalah yang
sepertinya belum laku dari pagi hari.
“Koran kak?” Ucapnya sembari
memperlihatkan beberapa jenis koran yang dia pegang. Ada Kompas, Fajar, Tribun
Timur, dan Seputar Indonesia. “Atau mau beli buku TTS kak?” Sambungnya lagi
sambil memperlihatkan beberapa buku TTS yang bersampulkan foto artis yang entah
siapa.
Saya tersenyum melihat
gerak-geriknya, Sesekali dia menatap saya dengan tatapan ‘Jadi beli gak sih?’
lalu sesekali dia melayangkan pandangannya mencari sosok orang yang ingin
membeli jualannya.
“Kamu gak sekolah dek?” Tanyaku
kemudian yang membuatnya berbalik kemudian memberanikan diri menatap saya lama.
“Sekolah
kak, tapi sudah pulang.”
“Kamu
bisa baca?” Tanya saya lagi, si anak lelaki itu memperbaiki topinya. Dia
tersenyum sebentar lalu menjawab dengan polosnya, “Kalau koran saya dibeli saya
jawab deh pertanyaan kakak.”
Ajaib
bukan, bagaimana seorang anak bisa dengan mudahnya mempelajari tehnik
marketing. Padahal dia masih terbilang cukup kecil. Saya yakin, bukan sekolah
yang membuatnya seperti itu tapi pengalaman. Bukankah selalu tertulis di buku
tulis “Pengalaman adalah guru yang paling baik” dan itu terbukti dengan
ungkapan anak itu.
“Saya
beli koran kompasnya. Satu saja!” Ucapku lagi sebelum dia menambahkan
pernyataan yang mengharuskan saya membeli dua koran. “Lalu jawabannya mana?”
Anak
itu berfikir sebentar, “Saya bisa baca tapi tidak begitu lancar. Masih belajar
kak!”
“Kamu
kelas berapa?” kembali pertanyaan keluar dari mulut saya.
“Kelas
5. Tapi saya hebat dalam berhitung!” sahutnya dengan penuh rasa bangga.
Kami
ngobrol lama, obrolan yang sebenarnya tidak begitu penting tapi berhasil
membuat saya ingin terus berbicara hingga suara-suara panggilan untuk menghadap
Allah bergema dari Speaker mesjid. Anak lelaki yang mengenakan baju kebesaran
itu kembali merapikan topinya, dia kembali mengangkat jualannya, berjalan
perlahan lalu berkata “Saya sembahyang dulu kak. Biar jualan laris manis.
Terima kasih.”[ ]
![]() |
| Potret Hidup Jalanan |
Lalu
kembali suara adzan itu yang mempertemukan saya pada seorang gadis penjual
gorengan yang setiap dzuhur nongkrong di teras mesjid seraya mendekati beberapa
mahasiswa yang tengah sibuk berdiskusi atau sekedar berbagi cerita tidak begitu
penting. Bakwan, jalankote, dan lumpia menjadi jualan khasnya. Gadis dengan
tubuh kecil ini selalu menggunakan jilbab. Sesekali jika ngobrol dengan saya
dia selalu menggunakan ponsel saya untuk bermain game Jewel Master. Kala itu
Nokia N70 masih menjadi ponsel keren.
Saya
juga ingat bagaimana dia bercerita bahwa beberapa kali dia sempat diusir oleh
satpam ketika didapat berjualan di dalam kampus. Namun keinginannya untuk terus
menghasilkan uang untuk keluarga tercintalah yang membuatnya selalu berhasil
menghindari satpam yang menurut saya terlalu berlebihan. Ketika saya bertanya
“Ibu kamu pekerjaannya apa?” Dia dengan bangga menjawab, “Ibu saya tukang cuci
baju kak. Sehari dia bisa mencuci berbaskom-baskom pakaian kotor.”
Jika
sekarang pertanyaan itu di lontarkan kepada mereka para remaja yang memiliki
gengsi tinggi, akankah mereka akan menjawab juga dengan bangga mengatakan apa
pekerjaan orang tua mereka. Dulu saya selalu bangga, ayah saya seorang supir
angkot merangkap seorang dosen. Kenapa? Karena tidak semua orang bisa bangga
memperlihatkan pekerjaannya saat bertemu dengan kerabatnya tanpa sengaja
dijalan.
Dan
saya masih ingat, saya sempat menjanjikan sebuah rok putih bercorak biru pada
gadis kecil ini. Namun, beberapa bulan setelah saya bertemu dengannya saya
tidak lagi bisa melihatnya. Yang saya tahu, dia tinggal di dekat tol, sepulang
sekolah dia akan berjalan dari rumah untuk menjajakan jualannya yang bahkan
bukan ibunya yang membuatnya. Jadi setiap kali ada orang yang membelinya dia
hanya mendapat keuntungan 1000 rupiah. Tidakkah itu mengiris hati? Saat uang
seribuan kita hanya kita abaikan, seorang gadis kecil justru begitu
menginginkannya. [ ]
Lalu,
tadi sepulang kantor kembali di rumah Tuhan saya dipertemukan dengan seorang
bocah laki-laki yang mengenakan celana sekolah dan baju kaos juga celana
training yang dia sangkutkan di lehernya. Bocah sekarang memang benar-benar
aneh. Baru memasuki area parkir mesjid mereka sudah berebutan untuk menjaga
motor saya, “Biar saya yang jagain kak. Gak akan hilang kok helmnya.” Ucapnya
sambil memainkan celana training yang menggantung di lehernya.
Saya
tersenyum melihat tingkah bocah menggemaskan itu. Anak-anak selalu punya cara
untuk menghipnotis kita agar tersenyum. Karena ini setiap kali melihat
anak-anak saya akan jatuh cinta pada mereka. Seusai sholat, kembali lagi obrolan
tidak penting terjadi diantara kami.
“Nama
kamu siapa?” Tanya saya sebelum memberikan imbalan atas jasa mereka.
“Israq
kak.” Ucapnya sambil tersenyum malu-malu. Kembali saya mengulang pertanyaan
yang sama, maklum kebisingan selalu bisa mengalahkan suara bocah yang bahkan
sedang sangat bersemangat. Dan kembali jawaban yang sama yang saya terima
darinya. Makanya mari kita panggil dia dengan sebutan Israq.
“Kamu
sekolah?” kembali saya melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah ketahuan
jawabannya. Jelas saya Israq menggunakan celana merah dengan kantong disamping
kiri dan kanan pahanya. Jelaslah itu celana yang sering digunakan anak SD. Ia
mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan saya.
“Kamu
bisa baca?” kali ini seorang teman yang bertanya. Israq menggeleng, lalu
tersenyum malu-malu. Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkah bocah lucu satu
ini. Sebelum pergi saya memberikan selembar uang untuknya, sebagai imbalan
karena telah menjaga motor saya. Dia tersenyum, mengucapkan terima kasih lalu
berlari menuju kumpulan temannya. Tertawa terbahak, bercanda seolah tidak ada
kesulitan yang dihadapinya.
“Kak,
kita ngajarin anak itu saja gimana?”
Daerah
Rappocini memang tujuan observasi saya dengan beberapa kegiatan yang akan saya
lakukan. Dari artikel yang saya baca, beberapa masyarakat disana berasal dari
keluarga sederhana, dan bahkan dikatakan kumuh dengan melihat kondisi mereka.
Motor melaju sedikit cepat, kembali dua bocah yang saya temui ketika Kuliah
bergantian tersenyum di pelupuk mata saya.
Rumah
– rumah Tuhan, disana akan selalu ada tawa anak-anak. Disana akan selalu ada
pelajaran hidup. Jika lelah menyerangmu dan membuatmu berfikir kehidupanmu
begitu membosankan, berkunjunglah ke rumah Tuhan. Habiskan waktumu untuk
ngobrol dengan mereka maka kamu akan tahu Kehidupan yang kamu katakan Jenuh dan
membosankan sebenarnya sangat diharapkan oleh orang lain.
![]() |
| Anak di rumah Tuhan |
Hanya
di Rumah Tuhan kita bisa mendapatkan hal yang baru. Tempat dimana pelajaran
berkeliaran, tempat dimana kita bisa dengan tenangnya mendengarkan lantunan ayat
suci-Nya, tempat dimana akan selalu ada anak-anak yang kita temui dengan kisah
yang berbeda, tempat dimana kita bisa merasa damai, dan tempat dimana kita
selalu ingin terlihat cantik.
Teruntuk
kalian yang pernah singgah dan memberikan pelajaran hidup padaku, hiduplah
seperti apa yang Tuhan rencanakan untuk kalian. Jika kalian mendapat celah
untuk mengubahnya jangan ragu untuk meminta pada-Nya, karena DIA akan selalu
ada untuk kita, kamu, dan kamu.
![]() |
| Belajar untuk belajar, Terus bermimpi Dek!! |




Tidak ada komentar:
Posting Komentar