Pertemuan
kembali mempertemukan saya dan kamu. Kamu duduk tepat disamping saya, kita diam
namun dalam hati saya berucap “Kenapa harus saya bertemu denganmu lagi?”. Kita
sibuk dengan ponsel masing-masing, diamnya kamu menandakan benderang perang
untuk saya. Tidakkah kamu tahu, melihatmu selalu membuat luka. Membuat saya
benar-benar ingin menamparmu dan bertanya “Kenapa?”
Dunia yang
kita jalani berbeda, selalu ada sekat diantara kita. Bagaimana saya tahu kamu
nyaman di zona kamu sementara saya sangat tidak nyaman di zona saya? Setiap
malam saya selalu melakukan hal yang sama, hal yang selalu membuat saya
benar-benar membencimu. Sekedar melihatmu, lalu tersenyum sebentar, kemudian
cemberut. Jika boleh meminta bisakah kamu pergi untuk sementara dari pikiran
saya?
Lalu dua
minggu yang lalu, kembali saya ingin memberikan satu benda padamu. Bukan buku
yang pernah saya berikan namun lebih ke benda yang mungkin sering kamu bawa.
Tapi rasa benci ini membuat saya mengurungkan setiap niat untuk memberikan kamu
atau sekedar menyapa kamu. Diammu benar-benar membuat saya benci.
Dan lagi,
tidakkah kamu sadar. Beberapa tingkahmu selalu membuat saya ingin menjauh.
Bahkan kepergian kali ini karenamu. Jika Tuhan tidak mempertemukan kita, mungkin
saya masih terjebak dengan luka yang membuat saya mati rasa.
Saya
membencimu, membenci setiap kali kamu bersuara karena setiap kali kamu
bersuara, suara-suara itu akan terus menetap di memori saya dan membuat saya
memikirkan dan mendengarkan setiap suara yang kamu keluarkan. Terputar dengan
sendirinya disetiap malam.
Saya
membencimu, membenci setiap tindakan yang kamu lakukan. Kamu membantu orang
lain, membuat orang lain tersenyum dan membuat anak-anak kembali bersemangat.
Hal yang teramat saya benci darimu adalah kamu memiliki hati yang tulus. Demi
Tuhan, saya benar-benar membencinya.
Dan semua
tulisan kamu. Saya benci setiap kali membacanya saya akan terhanyut oleh
drama-drama yang kamu ciptakan. Euforia sesaat yang kamu timbulkan, yang
membuat saya tersenyum semenit, lalu cemberut setelahnya. Saya benci setiap
tulisan yang kamu peruntukkan untuk orang lain. Saya benci setiap kali kamu
menulis seolah tulisan itu untuk saya.
Lalu, cara
kamu menatap saya. Saya benci ketika kamu menatap saya hanya dari ujung matamu.
Seolah wajahku lebih seram dari hantu yang sering muncul di tivi-tivi. Saya
benci ketika mata kita saling menatap dan sedetik saya merasa jantung saya
ingin copot. Saya benci ketika kamu ngobrol dengan orang lain kamu menatapnya
lama, memperhatikan setiap detail wajahnya sementara denganku tidak.
Saya benci
setiap kali tidak melihat kamu, saya akan khawatir semalaman. Saya benci rindu
melihat sosok kamu dengan senyuman yang selalu kamu berikan. Saya benci setiap
detail di wajah kamu. Karena setiap detail itu menjadikan saya semakin lama
semakin menginginkan kamu. Dan terlebih saya benci, setiap kali kamu keluar
malam, saya harus berkata pada diri saya “Dia baik-baik saja. Dia sehat dan
bisa menjaga dirinya.” Saya benci selalu mengkhawatirkanmu setiap saat. Apa
kamu sudah makan? Bagaimana harimu hari ini? Dan lainnya.
Dan satu hal
yang paling saya benci adalah saya benci karena kamu telah berhasil membuat
saya jatuh cinta pada sosok manusia seperti kamu. Seberapapun saya membencimu,
saya amat membenci fakta bahwa saya benar-benar menyukaimu. Tertarik untuk
melihatmu secara diam-diam jika kita bertemu, tertarik mendengarkan suaramu
ketika berpendapat, tertarik untuk mengobrol denganmu walau hanya satu kata
yang keluar dari mulut.
Saya benci
mendapati tubuh saya gemetaran ketika duduk disampingmu, berharap seseorang
datang menolong saya dan membuat semuanya kembali normal. Saya benci setiap
kali mendapati diri saya cemburu melihat kamu dengan wanita lain. Karena
dibalik semua rasa benci saya itu, saya takut kehilangan kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar