Malam hari ini cuaca cukup tenang, hujan tidak turun menyapa para penghuni daratannya. Seseorang tengah menatap langit dari balik jendela kecil di kamarnya, dilangit tampak begitu banyak bintang. Bulan juga tidak kalah indahnya, senyum gadis itu makin melebar kala sinar Bulan menerpa wajahnya yang sedikit rusak. Bekas luka di pipi sebelah kanan yang cukup panjang dan di pelipis kepalanya membuatnya tampak seperti tokoh Samurai X, hanya saja bekas luka Kenshin jauh lebih tampak seperti tanda silang ketika mengikuti ujian. Sedangkan bekas luka gadis ini seperti sebuah coretan anak kecil yang keluar dari garis batas buku yang diberikan.
You know I love You, I love you...
My Little Girl, my little girl...
I ask GOD to bless you and protect you always...
My Little Girl, my little girl...
Lagu My little girl – Maher Zein terputar dengan begitu merdu dari radio, sebuah radio tua dikamar berukuran kecil dengan desain kamar yang sederhana. Di dinding kamar tertempel beberapa bingkai foto. Foto wajah gadis ini ketika luka itu belum ada, ketika dia menghabiskan malamnya ketika matanya tidak mampu untuk menutup karena ketakutan. Dan penghiburnya selalu lagu dari maher zein ini.
“Kamu belum tidur, Dinda?” Ucap seorang wanita yang terlihat begitu ramah. Baju gamis putih dengan Al-Quran di tangan menandakan wanita itu baru saja menyelesaikan membaca Al-Quran, seperti yang selalu dilakukannya.
“Belum Ma. Mata Dinda belum mau menutup.” Balasnya seraya tersenyum, senyum. yang sama seperti dalam bingkai foto.
“Kamu harus tidur, besok kita akan ke rumah sakit untuk melihat kakakmu.”
Dinda hanya tersenyum, tapi jauh di hatinya dia menangis. Menangis mengingat bagaimana abangnya terbaring koma selama beberapa bulan ini. Bahkan pihak rumah sakit telah mengatakan abangnya meninggal. Ibunya yang hanya seorang guru agama, harus mati-matian mencari uang untuk biaya rumah sakit abangnya yang kian menumpuk. Dinda kembali menatap langit, dia melihat langit dengan tatapan kosong. Katakan padaku jika KAMU benar-benar menyayangiku Tuhan! Jika benar, kumohon kembalikan abangku ke sisi kami.
***
Rumah sakit terlihat sedikit ramai, beberapa kali para suster menyapa Dinda dengan ucapan “Apa Kabar?” dan selalu Dinda jawab dengan senyuman. Ibunya mendorong kursi roda Dinda perlahan, memasuki sebuah kamar bertuliskan “Delima 3” ruangan tempat abang Dinda terbaring. Kegiatan yang sama yang selalu mama Dinda lakukan ketika di rumah sakit, mengaji seraya berdoa untuk kesembuhan Doni. Anak lelaki semata wayangnya. Lantunan doa dari hati yang tulus akan selalu di dengar Allah bahkan dengan suara yang lirih. Acap kali mereka ke rumah sakit mama Dinda selalu menangis, melihat kondisi Doni yang tidak pernah mengalami perubahan. Dua bulan tertidur seolah tidak lagi ingin bangun bisa saja membuat Mama Dinda menyerah, tapi dia percaya. Anaknya, Doni. Sedang berjuang untuk kembali padanya. Bahkan ketika Nabi Ayub tertimpa sakit yang tidak bisa disembuhkan, Allah ada disana untuk menyembuhkan Nabi Ayyub. Dinda dan Mamanya percaya akan hal ini.
Sekembalinya dari rumah sakit, Tiara seorang teman lama Dinda yang tidak lagi pernah berkunjung mampir ke rumah Dinda. Wajah malu dan selalu tertunduk, dia tampakan di hadapan Dinda. Pengkhianatan yang dia lakukan pada Dinda pada akhirnya membawanya untuk datang meminta maaf.
“Kamu benar tentang Rinjani. Dia makhluk paling munafik yang pernah saya temui. Dia hanya memanfaatkan saya untuk kepentingannya. Maaf sudah melupakanmu beberapa bulan ini Dinda.” Tiara memeluk Dinda sambil menangis.
“Sudahlah. Aku tidak pernah marah Tiara, sampai kapanpun kamu tetap temanku yang terbaik, sahabat yang diberikan Tuhan. Jangan membenci terlalu banyak, maafkan Rinjani dan semuanya akan baik-baik saja.” Lagi-lagi Dinda selalu bisa menjadi penasehat yang baik untuk Tiara.
“Saya seharusnya tahu dari awal kalau Rinjani itu manusia berwajah dua. Dia terlihat begitu baik bak seorang malaikat, tapi hatinya busuk.” Tiara masih berceloteh ria.
“Ketulusan seseorang itu dilihat dari hatinya Tiara bukan wajah. Kamu hanya harus merasakannya, bukan melihatnya. Apa yang mata lihat kadang tidak sesuai dengan apa yang hati lihat.”
“Bagaimana kamu bisa tahu hal itu?”
“Ketika Tuhan mengambil salah satu pancaindra kamu, Allah memberikan kepekaan lebih untuk pancaindra lainnya. Saya memang tidak bisa melihat dengan mata, tapi bisa merasakan dengan hati.” Dinda kembali tersenyum ramah. Tiara langsung memeluk Dinda, rasa kangen dan haru membuatnya tidak ingin melepaskan pelukan itu.
“Kamu benar-benar punya hati yang baik Dinda.”
“Kamu juga Tiara. Allah akan memberikan hati yang baik sebagai penasehat dirinya untuk orang yang baik. Dan kamu juga memilikinya.”
***
Lantunan ayat-ayat suci Tuhan terdengar begitu merdu malam itu. Jendela tempat biasa Dinda melihat langit kembali menjadi tempat favoritnya. Malam ini dia berbicara banyak pada Pencipta-Nya. Bukan dengan mulut tapi dengan hati. Allah akan selalu mendengarkan Hati yang tulus.
Ayah... Maafin Dinda tidak mampu menjaga kak Doni. Kondisi Dinda sekarang tidak memungkinkan Dinda untuk bekerja. Mata dan kedua kaki Dinda sudah kembali Pada-Nya. Jika kamu mendengarkanku sekarang, kumohon katakan pada-Nya Ayah, kembalikan Doni kepada kami.
Pintu kamar terbuka perlahan, Dinda buru-buru menghapus air matanya, wajah ibunya yang selalu meneduhkan kembali terlihat samar di hatinya. Kegelapan yang menutupi hidup Dinda beberapa bulan ini membuatnya sadar bahwa Tuhan pemilik segalanya, apa yang dulu dia banggakan, mata yang indah, wajah yang mulus dan cantik sekarang bukan lagi apa-apa. orang-orang bahkan takut menatapnya.
“Mama punya pertanyaan untuk kamu Dinda.” Ucap Mama Dinda seraya memegang bahu anaknya.
"Apa ma?”
“Jika kamu dalam posisi mama, apa kamu akan menyerah pada kondisi abangmu?”
“Tentu tidak. Mama tahu kan, Allah selalu mendengarkan doa umat-Nya bahkan dengan suara yang lirih. Akan selalu ada keajaiban jika kita berharap pada-Nya.”
“Mama senang, kamu bisa berubah sedrastis ini. Mama senang dengan kamu yang sekarang. Besok kita jemput abangmu, kita bisa merawatnya dirumah.” Sahut mama Dinda, dinda hanya tersenyum.
Kecelakaan dua bulan yang lalu berhasil membuat Dinda menjadi lebih baik. Kematian ayahnya dan apa yang dialami abangnya juga dirinya membuatnya semakin dekat dengan Tuhan. Benar, ada saatnya untuk membuat seseorang sadar harus dengan hal yang menyakitkan. Kondisi mereka yang dulu berlimpah kini berubah. Hidup pas-pasan namun bahagia, itu yang Dinda rasakan.
Dinda masih bisa mendengar, mendengar setiap hal melalui jendela kamarnya, kicauan burung, aktivitas tetangganya, bahkan suara hujan, dan tetesan hujan masih bisa dia rasakan melalui jendela kamarnya. Dan hati, dia bisa melihat dengan hatinya bahkan ketika Tuhan mengambil penglihatannya. Bukan bagaimana kamu melihat hal-hal yang ada di hadapanmu tapi bagaimana kamu mendengarkan dan merasakan. Dua hal ini tidak pernah bisa dipisahkan, kebenaran hanya bisa di dengarkan lalu di rasakan, bukan semata dilihat.
Karena mata hanya melihat apa yang ingin dia lihat, namun hati melihat apa yang tidak terlihat oleh mata. Seperti jendela, selalu menghadirkan sisi lain dari kehidupan, kehidupan yang tidak nampak jika di lihat dari pintu utama.
Jika beban di bahumu lebih berat dibanding biasanya, itu berarti Tuhan sangat menyayangimu... Dinda mengingat pesan ayahnya sebelum kecelakaan itu terjadi. Sembari tersenyum dengan suara lirih Dinda mengucapkan “Terima kasih ayah, untuk pelajaran hidup yang kamu berikan.” Hidup itu bukan bagaimana kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan tapi memberikan apa yang tidak bisa kamu dapatkan untuk orang lain. [ ]

Critax bagus sekali....makna pesan bahwa sesama manusia dalam persahabatan hrs saling menyayangi, tdk slg menyakiti,jgn membenci.Dan Selalu bersyukur kalo diri qta ditakdirkan Yang Kuasa lbh indah dari yg lain.
BalasHapusTerima kasih :)
BalasHapus