Januari 13, 2013

HIDUP UNTUK MEREKA JUGA

Surat ini untuk kamu...
Sebenarnya akan terdengar begitu kekanak-kanakan tiba-tiba menulis surat seperti ini. Sebenarnya ini bukan gaya saya, bukan bagaimana cara saya menyampaikan apa yang seharusnya saya sampaikan secara terang-terangan. Tapi semoga surat saya ini tidak seperti sebuah surat-surat cinta picisan yang banyak terdapat di kartu-kartu Valentine. Saya akan berusaha membuat surat ini terlihat seperti biasa, normal. Tanpa ada kata-kata yang akan membuatmu merasa muak membacanya.
Masih ingat gak?     
Rumah tua tempat pertama kali kamu mengajakku kesana, memperlihatkan padaku bahwa suatu hari nanti kamu akan membangunkan sebuah rumah yang terbuat dari batu bata dilapisi semen atau lebih tepatnya sebuah rumah tembok. Kamu berkata dengan begitu penuh percaya diri, “Kelak kita akan tinggal dirumah yang lebih besar.” Saya tersenyum mendengar janji itu sembari terus memegang erat tanganmu.
            Masih ingat juga?
            Pertama kalinya kamu membuatku tertawa dengan kendaraan yang kamu gunakan untuk menjemputku disekolah. Kamu dengan senyum terus mengembang sembari membanggakan motor barumu membuatku senang memelukmu dari belakang. Kita mampir disebuah warung kecil membeli kerupuk dan sebungkus teh. Lalu kamu dengan bangga membunyikan klakson motormu dan menungguku kembali tersenyum karena lagu yang ku dengar.
            Saya masih ingat jelas bagaimana kamu memperhatikanku, mengingatkanku untuk melakukan ini dan itu. Mengajariku disaat saya tidak tahu apa-apa dan kini saya banyak tahu berkatmu. Belajar darimu bagaikan belajar sari sebuah pengalaman yang cukup panjang. Saya juga masih ingat bagaimana kita menghabiskan sore hari dengan begitu gembira dalam sebuah angkutan umum. Kamu masih ingat semuanya kan?
            Dan lagi, apa kamu masih ingat?
            Hadiah pertama yang saya terima darimu. Hadiah itu tidak pernah saya buang bahkan ketika hadiah itu telah usang. Semua pemberianmu tidak pernah saya buang. Semuanya saya simpan dengan begitu rapi, agar saya selalu ingat kamu pernah memberikan harta yang berharga untukku. Ku harap kamu benar-benar masih mengingatnya.
            Masih ingat juga?
            Ketika kamu menegurku sewaktu saya pulang terlambat. Kamu benar-benar terlalu memperhatikanku. Ketika saya jatuh sakit karena kehujanan, atau karena kelelahan. Kamu dengan dialekmu akan ada disana dan berucap, “Kan sudah beberapa kali dibilangin kamu jangan hujan-hujanan.” Saya senang setiap kali mendengar itu. Terlihat kamu benar-benar menyayangiku, hanya saya.
            Lalu setelah beberapa tahun berlalu, kamu makin bertingkah overprotected. Saya tahu maksud kamu untuk melindungiku tapi ada kalanya sikapmu begitu berlebihan. Bahkan karena itu saya tidak pernah berani memperkenalkan sahabat priaku kepadamu. Takut kamu akan menatapnya seolah ada yang salah didirinya kemudian kamu akan membuat saya tidak punya teman lagi. Tapi saya senang ketika kamu mempersilahkan kami berkumpul untuk mendiskusikan tugas. Dan malam hari ketika saya pulang larut, kamu selalu bisa menjemputku dimanapun saya meminta dijemput.
            Lalu ketika hubungan kita menjadi Long Distance Relationship, saya tahu hal itu akan begitu membuatmu makin cemas terhadapku. Gelisah selalu menghampirimu, bertahun-tahun kita bersama lalu tiba-tiba terpisah oleh jarak bukanlah hal yang mudah untukmu bukan. Begitupun diriku. Pertama kali menelpon kamu selalu bertanya, “Kamu dimana? Sudah makan? Sekarang lagi ngapain?”
            Bulan lalu bulan berganti, kali ini selalu saya yang berucap, “Saya dirumah, belajar, sudah makan. Tadi makan nasi sama telur ceplok ditambah mie goreng.” Begitu jawabanku terdengar kamu justru diam. Mungkin kamu berfikir, apa lagi yang harus kamu tanyakan agar komunikasi kita tidak begitu membosankan.
“Lagian kenapa harus setiap malam sih Pak, nelpon buat nanyain hal yang sama setiap harinya?” Dan dengan suara sedikit malu-malu kamu menjawab, “Bapak khawatir. Rindu juga nak.”
Bertahun-tahun kita bersama, kita saling tahu satu sama lain. Saya tahu kamu begitu suka dengan rokok, saya tahu kamu begitu suka dengan mobil juga motor besar. Namun kecelakaan beberapa tahun silam membuatmu tidak lagi bisa mengemudikan motor impian kamu. Saya juga tahu kamu suka makan masakan mama, kalau tidak salah namanya Dapa Pamuttu1. Saya juga tahu, kamu begitu suka berorganisasi tapi tidak suka dengan politik. Saya tahu kaki sebelah kananmu lebih kecil dibanding kaki sebelah kiri. Saya tahu kamu punya mimpi memiliki rumah yang didalamnya ada kolam renangnya dengan gaya barat.
Kita menghabiskan waktu hampir puluhan tahun. Tapi saya pikir semakin bertambahnya tahun semakin kita berbeda Ayah. Saya mungkin salah, tapi sepertinya kamu sedikit lupa bahwa anakmu yang satu ini telah tumbuh lebih dewasa, telah mengerti akan hidup. Kehidupan yang tidak pernah kamu singgung sebelumnya, kehidupan yang bahkan berbeda dengan apa yang kamu ceritakan. Ada satu sisi kehidupan yang mungkin lupa kamu ceritakan padaku Ayah.
Izinkan aku berkata ini, ilmu yang kamu berikan memang begitu banyak untukku. Saya bisa mengatakannya satu persatu agar kamu ingat. Pertama, kamu mengajarkanku membaca, menulis, lalu berhitung. Begitu saya beranjak dewasa kamu mengajarkanku bagaimana caranya agar saya bisa lebih baik dari kawan-kawanku dikelas. Melatihku setiap hari dengan beberapa soal, kamu ingat ketika saya menemanimu narik angkot? Ketika itu kamu sempat berucap padaku, “Kamu harus lebih dari bapak nak. Harus.” Ketika itu saya mulai tahu bahwa saya harus bisa lebih kuat darimu, bukan dalam hal berlimpah materi. Sewaktu itu mungkin saya salah mengartikan maksudmu.
Kedua, kamu mengajariku bagaimana berdebat. Sehingga semasa SMA saya bisa beberapa kali memenangkan lomba debat. Semua berkatmu. Lalu ketiga, kamu mengajariku tentang kehidupan. Sebuah pelajaran yang tidak pernah saya lupakan. Kerja keras dan berusaha adalah kunci kesuksesanmu. Saya menyimpan itu dalam memori saya. Dan selalu setiap kali putus asa, memori itu yang menguatkan saya.
Tapi semakin tahun kita semakin berbeda. Kamu seakan menertawakan apa yang saya lakukan. Ingat sebuah komunitas Sekolah Pintar yang pernah saya ceritakan kepadamu? Saya bercerita tentang bagaimana saya mengajar disana, mengajari anak-anak yang kurang mampu secara sukarela. Saya bercerita berharap kamu menanggapinya dengan serius dan bisa sedikit membantuku untuk mencari sebuah tempat untuk mereka. Saya bercerita dengan begitu semangat berharap ada kebanggaan kecil yang bisa keluar dari mulutmu. Tapi sepertinya sikapmu biasa saja, justru yang ku lakukan membuatmu sedikit terkejut, kamu bahkan bilang “Ah.. apa yang kamu lakukan itu? Ngapain ngajarin anak-anak seperti itu.” Jujur saja, saya sedikit shock mendengar jawabanmu. Saya tidak tahu lagi harus berkata apa setelah mendengarmu berkata demikian.
Apa yang ingin saya sampaikan di surat saya ini hanya satu ayah, bagaimanapun kamu saya selalu menyayangimu. Lebih dari apapun didunia ini, lebih dari sayangmu padaku. Hidup bukan hanya untuk kita semata Yah, bukan sekedar mencari uang, memenuhi kebutuhan kita, dan menambah kesombongan kita kepada orang lain. Hidup bukan hanya sekedar mencari harta yang berlimpah, mengumpulkannya lalu membelikannya barang-barang mewah untuk dipamerkan.
Bagiku, hidup untuk mereka juga. Hidup untuk mereka yang mungkin tersingkir karena sekat-sekat yang dibangun oleh manusia-manusia diluar sana. Hidup bukan hanya untuk kita, bukan hanya sekedar tersenyum tertawa lalu tidur dan kembali mengulang kehidupan esok paginya dengan hal yang sama. Kehidupan untuk mereka juga, membagi tawa untuk mereka, memberikan senyuman untuk mereka, dan membagikan ilmu untuk mereka. Memang kita terlahir untuk bertahan hidup tapi bukan berarti kita mengabaikan mereka juga kan, Yah.
Maafkan saya jika apa yang kamu larang kali ini tidak saya turuti. Seseorang telah mengubah pandangan saya tentang kehidupan. Dia mengenalkan saya pada kehidupan baru yang jauh berbeda dengan kehidupan yang kamu ajarkan dulu Yah. Tapi ketahuilah, bagaimanapun tindakanku di luar sana untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan, saya tidak akan pernah membuatmu malu. Janji saya untuk terus menjaga nama baikmu akan selalu saya tepati.
Seperti yang pernah saya katakan dulu ketika kita berdiri disebuah rumah kayu tua ketika kamu berjanji, “Saya akan membuatmu bangga, ayah.”

Tanda cinta,

Bakti Ananda.

2 komentar:

  1. Saya terkecoh awal membacanya.spt biasa pikiran ttg percintaan antara 2 anak manusia pria dan wanita tapi ternyata hubungan antara anak dan ayahnya.OMG.sebuah gambaran hub. yg baik dan si penulis mengingatkan qta bahwa kebaikan seorg ayah yg pernah tertanam baik dlm kehidupan qta jgn pernah di lupakan.

    BalasHapus
  2. Hehehehe, terima kasih. Semua kebaikan orang pada kita seharusnya tidak pernah kita lupakan. bukan hanya ayah sih Bu, huehehehehe :D

    BalasHapus