Sebenarnya akan
terdengar begitu kekanak-kanakan tiba-tiba menulis surat seperti ini.
Sebenarnya ini bukan gaya saya, bukan bagaimana cara saya menyampaikan apa yang
seharusnya saya sampaikan secara terang-terangan. Tapi semoga surat saya ini
tidak seperti sebuah surat-surat cinta picisan yang banyak terdapat di
kartu-kartu Valentine. Saya akan berusaha membuat surat ini terlihat seperti
biasa, normal. Tanpa ada kata-kata yang akan membuatmu merasa muak membacanya.
Masih ingat gak?
Rumah tua tempat
pertama kali kamu mengajakku kesana, memperlihatkan padaku bahwa suatu hari
nanti kamu akan membangunkan sebuah rumah yang terbuat dari batu bata dilapisi
semen atau lebih tepatnya sebuah rumah tembok. Kamu berkata dengan begitu penuh
percaya diri, “Kelak kita akan tinggal dirumah yang lebih besar.” Saya
tersenyum mendengar janji itu sembari terus memegang erat tanganmu.
Masih
ingat juga?
Pertama
kalinya kamu membuatku tertawa dengan kendaraan yang kamu gunakan untuk
menjemputku disekolah. Kamu dengan senyum terus mengembang sembari membanggakan
motor barumu membuatku senang memelukmu dari belakang. Kita mampir disebuah
warung kecil membeli kerupuk dan sebungkus teh. Lalu kamu dengan bangga
membunyikan klakson motormu dan menungguku kembali tersenyum karena lagu yang
ku dengar.
Saya
masih ingat jelas bagaimana kamu memperhatikanku, mengingatkanku untuk
melakukan ini dan itu. Mengajariku disaat saya tidak tahu apa-apa dan kini saya
banyak tahu berkatmu. Belajar darimu bagaikan belajar sari sebuah pengalaman
yang cukup panjang. Saya juga masih ingat bagaimana kita menghabiskan sore hari
dengan begitu gembira dalam sebuah angkutan umum. Kamu masih ingat semuanya
kan?
Dan
lagi, apa kamu masih ingat?
Hadiah
pertama yang saya terima darimu. Hadiah itu tidak pernah saya buang bahkan
ketika hadiah itu telah usang. Semua pemberianmu tidak pernah saya buang.
Semuanya saya simpan dengan begitu rapi, agar saya selalu ingat kamu pernah
memberikan harta yang berharga untukku. Ku harap kamu benar-benar masih mengingatnya.
Masih
ingat juga?
Ketika
kamu menegurku sewaktu saya pulang terlambat. Kamu benar-benar terlalu
memperhatikanku. Ketika saya jatuh sakit karena kehujanan, atau karena
kelelahan. Kamu dengan dialekmu akan ada disana dan berucap, “Kan sudah
beberapa kali dibilangin kamu jangan hujan-hujanan.” Saya senang setiap kali
mendengar itu. Terlihat kamu benar-benar menyayangiku, hanya saya.
Lalu
setelah beberapa tahun berlalu, kamu makin bertingkah overprotected. Saya tahu
maksud kamu untuk melindungiku tapi ada kalanya sikapmu begitu berlebihan.
Bahkan karena itu saya tidak pernah berani memperkenalkan sahabat priaku
kepadamu. Takut kamu akan menatapnya seolah ada yang salah didirinya kemudian
kamu akan membuat saya tidak punya teman lagi. Tapi saya senang ketika kamu
mempersilahkan kami berkumpul untuk mendiskusikan tugas. Dan malam hari ketika
saya pulang larut, kamu selalu bisa menjemputku dimanapun saya meminta dijemput.
Lalu
ketika hubungan kita menjadi Long Distance Relationship, saya tahu hal itu akan
begitu membuatmu makin cemas terhadapku. Gelisah selalu menghampirimu,
bertahun-tahun kita bersama lalu tiba-tiba terpisah oleh jarak bukanlah hal
yang mudah untukmu bukan. Begitupun diriku. Pertama kali menelpon kamu selalu
bertanya, “Kamu dimana? Sudah makan? Sekarang lagi ngapain?”
Bulan
lalu bulan berganti, kali ini selalu saya yang berucap, “Saya dirumah, belajar,
sudah makan. Tadi makan nasi sama telur ceplok ditambah mie goreng.” Begitu
jawabanku terdengar kamu justru diam. Mungkin kamu berfikir, apa lagi yang
harus kamu tanyakan agar komunikasi kita tidak begitu membosankan.
“Lagian kenapa harus
setiap malam sih Pak, nelpon buat nanyain hal yang sama setiap harinya?” Dan
dengan suara sedikit malu-malu kamu menjawab, “Bapak khawatir. Rindu juga nak.”
Bertahun-tahun kita
bersama, kita saling tahu satu sama lain. Saya tahu kamu begitu suka dengan
rokok, saya tahu kamu begitu suka dengan mobil juga motor besar. Namun
kecelakaan beberapa tahun silam membuatmu tidak lagi bisa mengemudikan motor
impian kamu. Saya juga tahu kamu suka makan masakan mama, kalau tidak salah
namanya Dapa Pamuttu1. Saya juga tahu, kamu begitu suka
berorganisasi tapi tidak suka dengan politik. Saya tahu kaki sebelah kananmu
lebih kecil dibanding kaki sebelah kiri. Saya tahu kamu punya mimpi memiliki
rumah yang didalamnya ada kolam renangnya dengan gaya barat.
Kita menghabiskan
waktu hampir puluhan tahun. Tapi saya pikir semakin bertambahnya tahun semakin
kita berbeda Ayah. Saya mungkin salah, tapi sepertinya kamu sedikit lupa bahwa
anakmu yang satu ini telah tumbuh lebih dewasa, telah mengerti akan hidup.
Kehidupan yang tidak pernah kamu singgung sebelumnya, kehidupan yang bahkan
berbeda dengan apa yang kamu ceritakan. Ada satu sisi kehidupan yang mungkin
lupa kamu ceritakan padaku Ayah.
Izinkan aku berkata
ini, ilmu yang kamu berikan memang begitu banyak untukku. Saya bisa
mengatakannya satu persatu agar kamu ingat. Pertama, kamu mengajarkanku
membaca, menulis, lalu berhitung. Begitu saya beranjak dewasa kamu
mengajarkanku bagaimana caranya agar saya bisa lebih baik dari kawan-kawanku
dikelas. Melatihku setiap hari dengan beberapa soal, kamu ingat ketika saya
menemanimu narik angkot? Ketika itu kamu sempat berucap padaku, “Kamu harus lebih
dari bapak nak. Harus.” Ketika itu saya mulai tahu bahwa saya harus bisa lebih
kuat darimu, bukan dalam hal berlimpah materi. Sewaktu itu mungkin saya salah
mengartikan maksudmu.
Kedua, kamu
mengajariku bagaimana berdebat. Sehingga semasa SMA saya bisa beberapa kali
memenangkan lomba debat. Semua berkatmu. Lalu ketiga, kamu mengajariku tentang
kehidupan. Sebuah pelajaran yang tidak pernah saya lupakan. Kerja keras dan
berusaha adalah kunci kesuksesanmu. Saya menyimpan itu dalam memori saya. Dan
selalu setiap kali putus asa, memori itu yang menguatkan saya.
Tapi semakin tahun
kita semakin berbeda. Kamu seakan menertawakan apa yang saya lakukan. Ingat
sebuah komunitas Sekolah Pintar yang pernah saya ceritakan kepadamu? Saya
bercerita tentang bagaimana saya mengajar disana, mengajari anak-anak yang
kurang mampu secara sukarela. Saya bercerita berharap kamu menanggapinya dengan
serius dan bisa sedikit membantuku untuk mencari sebuah tempat untuk mereka.
Saya bercerita dengan begitu semangat berharap ada kebanggaan kecil yang bisa
keluar dari mulutmu. Tapi sepertinya sikapmu biasa saja, justru yang ku lakukan
membuatmu sedikit terkejut, kamu bahkan bilang “Ah.. apa yang kamu lakukan itu?
Ngapain ngajarin anak-anak seperti itu.” Jujur saja, saya sedikit shock mendengar
jawabanmu. Saya tidak tahu lagi harus berkata apa setelah mendengarmu berkata
demikian.
Apa yang ingin saya
sampaikan di surat saya ini hanya satu ayah, bagaimanapun kamu saya selalu
menyayangimu. Lebih dari apapun didunia ini, lebih dari sayangmu padaku. Hidup
bukan hanya untuk kita semata Yah, bukan sekedar mencari uang, memenuhi
kebutuhan kita, dan menambah kesombongan kita kepada orang lain. Hidup bukan
hanya sekedar mencari harta yang berlimpah, mengumpulkannya lalu membelikannya
barang-barang mewah untuk dipamerkan.
Bagiku, hidup untuk
mereka juga. Hidup untuk mereka yang mungkin tersingkir karena sekat-sekat yang
dibangun oleh manusia-manusia diluar sana. Hidup bukan hanya untuk kita, bukan
hanya sekedar tersenyum tertawa lalu tidur dan kembali mengulang kehidupan esok
paginya dengan hal yang sama. Kehidupan untuk mereka juga, membagi tawa untuk
mereka, memberikan senyuman untuk mereka, dan membagikan ilmu untuk mereka. Memang
kita terlahir untuk bertahan hidup tapi bukan berarti kita mengabaikan mereka
juga kan, Yah.
Maafkan saya jika
apa yang kamu larang kali ini tidak saya turuti. Seseorang telah mengubah
pandangan saya tentang kehidupan. Dia mengenalkan saya pada kehidupan baru yang
jauh berbeda dengan kehidupan yang kamu ajarkan dulu Yah. Tapi ketahuilah,
bagaimanapun tindakanku di luar sana untuk membantu mereka yang membutuhkan
bantuan, saya tidak akan pernah membuatmu malu. Janji saya untuk terus menjaga
nama baikmu akan selalu saya tepati.
Seperti yang pernah
saya katakan dulu ketika kita berdiri disebuah rumah kayu tua ketika kamu
berjanji, “Saya akan membuatmu bangga, ayah.”
Tanda cinta,
Bakti Ananda.
Saya terkecoh awal membacanya.spt biasa pikiran ttg percintaan antara 2 anak manusia pria dan wanita tapi ternyata hubungan antara anak dan ayahnya.OMG.sebuah gambaran hub. yg baik dan si penulis mengingatkan qta bahwa kebaikan seorg ayah yg pernah tertanam baik dlm kehidupan qta jgn pernah di lupakan.
BalasHapusHehehehe, terima kasih. Semua kebaikan orang pada kita seharusnya tidak pernah kita lupakan. bukan hanya ayah sih Bu, huehehehehe :D
BalasHapus