Dalam mimpi dia melihat gambar Adit
yang pernah di berikan di coret-coret oleh temannya, wajahnya di rubah menjadi
wajah ketakutan, sementara disampingnya ada sebuah gambar pocong sedang
menakuti Adit. Di lihatnya baik-baik gambar yang susah payah dia buat itu, ada
rasa marah juga jengkel di hatinya. Namun karena ulah iseng temannya ini banyak
yang menertawai gambar wajah Adit. Dan itu yang membuat Leanis merasa marah.
Suasana kini berganti, Leanis sedang
berdiri di atas sebuah jembatan kayu yang di bawahnya adalah lautan. Dia
berdiri disana seorang diri, lalu sedetik kemudian jembatan tempat ia berpijak
rubuh, tubuhnya tenggelam di air, merontak-ronta meminta pertolongan namun
tidak ada siapapun disana yang mendengarnya.
“Astagfirullah...” Sahutnya begitu
matanya terbuka. “Mimpi buruk lagi.”
Leanis kembali meraih ponselnya,
dilayar ponselnya kini tertera angka 6.47 am. MAMPUS!! TELAT NIH!! Batin Leanis seraya bergegas mengambil handuk
dan melakukan kebiasaan lamanya yang telah lama hilang, mandi kilat. Dalam
aturan mandi kilat Leanis yang terpenting adalah, gosok gigi dan cuci muka.
Selebihnya terserah anda.
***
Begitu tiba di parkiran, Leanis
bergegas memarkir motornya. Begitu si pink telah terparkir rapi barulah Leanis
sedikit berlari mengejar waktu. Jam 8.05 am adalah jam dimana lift lagi
padat-padatnya. Dan benar saja, begitu Leanis masuk di depan Lift telah
berkumpul lumayan banyak orang.
“Ayolah,
cepat-cepat-cepat-cepat-cepat-cepat!” Leanis berkata pelan pada dirinya.
Tubuhnya ikutan tidak sabaran menunggu lift terbuka, begitu terbuka Leanis
langsung menerobos masuk. Mantra yang dari tadi dia ucapkan masih terus dia
ucapkan, orang-orang di dalam lift bahkan sesekali melihatnya.
“Nyaris saja!” Ucap Leanis begitu
selesai absen. Kondisi kantor sudah lumayan ramai, Zalia yang duduk disebelah
Leanis juga sudah datang. Dengan senyum ramah seperti biasa Leanis menyapa
Zalia, bercanda dengannya.
“Sarapan yuk! Lapar nih!!” Ajak
Leanis.
”Sudah
tidak puasa ya kak?” Tanya Zalia.
“Iya.
Hari ini kan saya lebaran” Leanis kembali menebar senyumnya.
“Ya
udah ayuk!”
“Ajak
si Uly juga sama kak Agha.” Leanis mencari-cari Uly di tempatnya.
“Yaaa...
mereka mah udah makan dari tadi kak. Mereka masih ada di penjual bubur. By the
way kita makan dimana?”
“Di
lantai 1 saja. Djuku.” Leanis membawa lembaran kupon makan yang menjadi alat
ganti uang di lingkungan kantornya.
***
Tumpukan kertas kerja kini memenuhi
meja Leanis, BBM dari bosnya juga mampir sekedar mengingatkan untuk kembali
mengecek jurnal-jurnal. Leanis fokus mengerjakan tugas yang kemarin belum
selesai, begitu dia selesai barulah dia mengerjakan tugas yang lainnya. Sambil
bekerja sesekali Leanis bercanda dengan Zalia, ketika Zalia sedang tidak
melakukan apa-apa dia pasti akan senang mengganggu atau sekedar bertanya hal
yang tidak penting sama Leanis.
Leanis masih sibuk bekerja ketika
tiba-tiba matanya menatap ponselnya yang terus berbunyi dari tadi. Satu pesan
singkat dari Kak Dea, “Saya dikantor dongg sekarang.” Leanis tersenyum sebentar
menatap pesan singkat dari teman kantornya itu, lalu segera Leanis membalasnya,
“Jadi saya harus bilang GILAKKKK gitu kak?”
Selesai membalas pesan, pikiran
Leanis kembali ke Adit. Dari bangun tidur Leanis belum pernah melihat tweet
Adit. Buru-buru di bukanya Twitter Adit, dilihatnya percakapan Adit dengan
seorang teman wanitanya.
“Apa sekarang kamu cemburu?” tanya
logika Leanis.
“Hmm.. cemburu pun saya tidak
berhak. Sudahlah, kembali kerja Nis!” balas hati Leanis.
Ponsel kembali Leanis letakkan.
Begitu Leanis kembali fokus pada tumpukan kertas kerjanya, tiba-tiba saja suasana
kantor kembali ramai. Dea baru saja datang, menurut kabar yang Leanis terima
hari ini hari terakhir Dea masuk kantor, besok atau lusa mungkin dia akan
meninggalkan Makassar, meninggalkan teman-temannya, juga keluarga. Dia pergi
untuk sebuah tujuan, tujuan yang bahagia.
Leanis kembali terpaku melihat sosok
Dea, Dea adalah salah satu wanita yang begitu di kagumi oleh Leanis. Sifat
lemah lembutnya, sifat penyabarnya, banyak hal yang Leanis dapat dari pertama
dia berkenalan dengan Dea. Hal-hal yang mungkin tidak pernah dia dapatkan dari
kakaknya sendiri. Leanis masih menatap Dea dari kejauhan, begitu Dea sedang
asyik berbincang dengan Uly, Leanis tertarik untuk ikutan ngobrol.
“Kak dea kan perginya besok.
Kenang-kenangan buat saya mana kak?” Ucap Leanis menyela percakapan Uly dan
Dea.
“Hahahaha, kenang-kenangan apa? Ini
saja cincin kawin saya.” Balas Dea bercanda.
Leanis memperhatikan penampilan Dea
hari ini, seperti biasa. Pakaian yang selalu ceria dengan wajah yang selalu
memesona. Di bagian bahunya Leanis melihat bros yang digunakan untuk
mempercantik tampilan jilbabnya.
“Saya minta brosnya saja kak!”
Leanis langsung mengambil bros Dea. “Sebagai gantinya saya kasih foto yang
dimeja saya ya. Tunggu sebentar!” sambungnya.
Leanis lalu membawa sebuah foto,
foto dia dan teman-teman kantornya. Dea menatap lama foto itu, senyumnya tak
kunjung hilang dari wajah Dea. Dalam hati Leanis benar-benar akan merasa
kehilangan. Sosok wanita yang begitu baik padanya, wanita yang memiliki suara
paling merdu sedunia, wanita yang mungkin memiliki sifat penyabar yang tidak
ada batasnya.
***
Jam lima tepat, waktunya perpisahan.
Dea mulai pamitan dengan semua karyawan satu persatu. Dari jauh Leanis hanya
mendengarkan, tidak mampu rasanya ia melihat wajah kakak yang begitu dia
kagumi, sudah cukup Leanis menangis bersama ketika melihat sebuah film
dokumenter yang dipersembahkan untuk Dea.
Leanis membuka sebuah buku catatan
yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Di bukanya lembaran yang kosong,
Leanis lalu menulis beberapa kata yang mungkin bisa menginspirasinya ketika
menulis dimalam hari.
Kenapa
harus bertemu jika pada akhirnya berpisah? Sampai sekarang Kau belum menjawab
pertanyaanku ini Penguasa Langit. Apa karena Kau terlampau sibuk mengurusi
penghuni daratan yang kian hari kian bandel? Atau karena Kau begitu sibuk
meminta Sirius mencari mata-mata baru selain saya, hingga sampai detik ini Kau
tidak pernah menyiapkan jawaban ketika Saya bertanya. Namanya Dea Pradana
Kusuma, hari ini kami terakhir kali bertemu, ada banyak hal yang ingin saya
katakan padanya, banyak hal yang ingin saya akui. Saya ingin menangis, namun
terlampau malu memperlihatkan wajah jelek saya di hadapan orang-orang. Saya
ingin menahannya namun ini jalan-Mu bukan? Pada siapa lagi saya belajar jika
bukan dari dia. Tolonglah Penguasa Langit, Kau melihat dari Langit-Mu, melihat
semua penghuni daratan-Mu, jaga Kak Dea baik-baik. Jika tidak, mungkin saya
akan berhenti menjadi mata-mata sirius. Dan itu artinya tidak akan ada lagi
laporan yang bisa saya sampaikan.
_Shirarius_
“Hey kau!” Tegur Dea mengejutkan
Leanis. “Jangan pura-pura sibuk! Saya mau pamitan.” Dea menjabat tangan Leanis,
mencium pipinya lalu berucap pelan “Saya bakalan main kesini kok kalau
kemakassar.”
“Kak dea hati-hati ya!” Ucap Leanis.
Bahkan disaat berpisah dengan sebuah
keluarga baru seperti ini, Dea masih sanggup tersenyum. Semua orang yang
membalas uluran tangannya selalu berkata “Dea tinggal saja disini. Jangan
pergilah! Suaminya saja yang disuruh kesini!” Betapa semua orang sayang sama
Dea.
***
Leanis kembali merobohkan tubuhnya
di tempat tidur, matanya berair. Baru sekarang dia merasa sepi. Sendirian.
Dikamarnya hanya ada dia dan suara kipas angin yang terdengar sedikit berisik.
Memorynya kembali mengingatkan dia pada sosok teman lamanya yang kini sudah
menjadi penghuni Langit. Kali ini Leanis menulis di laptopnya, rasanya janjinya
untuk menulis sesuatu tentang Anshar bisa dia lakukan sekarang.
Namanya
Anshar. Pertama kali saya bertemu dengannya ketika SMA kelas 3. Dia anak yang
pendiam namun sangat murah senyum. Setiap kali kami berpapasan pasti dia
tersenyum padaku. Awalnya saya pikir anak ini rada gak normal, soalnya dia
selalu tertawa walaupun itu tidak lucu. Anshar juga tidak begitu pintar, namun
dia sangat pintar menyontek. Saya masih ingat jelas, ketika ujian dia dengan
mudahnya dan cepatnya menyelesaikan semua soal. Dan ketika raport di terima,
nilainya bagus-bagus saja. Oh iya, Anshar itu juga sangat grogi kalau
dekat-dekat cewek.
Ketika
saya hendak berkuliah ke Makassar Anshar ada untuk mengantar saya dengan
teman-teman yang lain. Dia adalah seorang yang begitu setia kawan. Waktu itu
tahun 2007 , SNMPTN saya dan Anshar masih sempat bertemu. Kami bahkan masih sempat
ngobrol dan makan bersama.
“Kamu
daftar disini juga?” Tanyaku yang begitu terkejut saat melihat Anshar.
“He’em”
ucapnya singkat seperti biasanya.
“Kamu
daftar apa? Jurusan apa? Ekonomi juga? Atau hukum?” tanyaku tanpa
mempersilahkan Anshar menjawab satu persatu pertanyaanku. Lagi-lagi Anshar
hanya tersenyum. Lalu menggeleng.
“Ihhh,
kamu tuh di tanyain daftar apaan malah senyum-senyum gitu!”
“Heheh...
saya daftar karena disuruh kakak. Sebenarnya malas kalau mesti kuliah.
Mendingan saya tinggal di rumah bantu-bantu orang tua.” Ucapnya.
“Lah,
kuliah kan juga bantu-bantu orang tua. Kalau kita lulus nanti kerja kan kita
yang bakalan bantu mereka.”
“Iya
kalau waktu kita cukup.”
Perkataan
Anshar kali itu benar-benar membingungkan. Antara percaya atau tidak baru kali
ini anak ini terdengar begitu bijak ketika berucap.
“Ehh
makan gih rotinya biar nanti tes selanjutnya gak kelaperan di kelas.”
Hari
itu hari terakhirku bertemu dengan Anshar. Selesai tes saya tidak lagi bisa
menemuinya, perkuliahan sudah dimulai ditambah Anshar tidak pernah menggunakan
ponsel, dia hanya memberi nomer telepon rumahnya. Setiap kali diminta sama
anak-anak untuk beli hape jawabannya selalu sama, “Saya selalu ada dirumah jadi
kalau ada apa-apa silahkan hubungi saya di rumah saja.”
Saya
tidak ingat jelas, entah itu akhir tahun 2007 atau pertengahan 2008. Pagi-pagi
buta saya dikejutkan oleh sebuah kabar dari seorang teman. Ponsel saya
berdering membuat saya dengan terpaksa mengangkatnya.
“Ya...
Assalamu’alaikum.” Ucapku dengan nada malas.
“Nis...
Anshar Nis....” balas orang diseberang telepon dengan suara menahan tangis.
“Kenapa?
Anshar kenapa?”
“Dia
udah gak ada. Pagi ini dia meninggal dunia di rumah sakit. Jenazahnya akan
langsung diantarkan ke sini pagi ini juga.”
Saya
tidak sanggup berkata-kata lagi. Sontak air mata saya langsung jatuh, suara
Yuni terdengar begitu pelan. Memory saya kembali mengingat ketika kami ngobrol
sewaktu mengikuti tes SNMPTN. Anshar yang masih ceria yang masih dengan
senyumannya, yang masih dengan kesederhanaannya. Ucapannya ketika itu kini saya
mengerti, “Jika kita punya cukup waktu.”
“Kata
dokter ada kanker yang sudah sangat besar tumbuh di dalam perut Anshar. Operasi
pagi ini untuk mengangkat kanker itu tapi ternyata usaha dokter tidak berjalan
baik. Sudah cukup lama Anshar menyimpan penyakitnya ini sendirian tanpa memberi
tahu orang-orang dirumah atau teman terdekatnya.”
Saya
masih menyimak Yuni yang berbicara tanpa mampu mengeluarkan sepatah katapun.
Buru-buru saya mencari pemberian terakhir Anshar, sebuah gelang dari karet
berwarna hitam yang tidak cocok jika saya gunakan.
“Anak-anak
bakalan ngelayat sore ini. Kamu gak ikutan?”
“Bagaimana
caranya Yun? Saya ada final, kalaupun minta sama bapak buat pulang pasti gak
dizinkan.” Tangisku makin menjadi-jadi.
“Kalau
kamu tidak bisa tidak perlu di paksakan. Kamu doakan dia dari jauh saja, itu
sudah lebih dari cukup.”
“Iya.
Maaf...” Suaraku nyaris tidak terdengar. Telepon terputus.
Leanis membaca kembali apa yang
ditulisnya. Mungkin begini juga sudah cukup. Air matanya kembali mengalir,
Anshar adalah salah satu teman yang begitu baik yang begitu memperhatikannya
dan juga yang begitu bijaksana. Diumur yang begitu muda dia bahkan rela
menanggung beban sendirian, menanggung sakit sendirian, semua dia lakukan
karena satu hal, dia tidak ingin membebani keluarganya dengan biaya pengobatan
yang begitu mahal.
Tangis Leanis makin menjadi-jadi.
Laptop dia tutup, kembali dia tidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu.
Malam ini pikirannya teralihkan oleh Anshar, bahkan Adit yang selalu
gentayangan di pikirannya malam ini berhasil dikalahkan oleh Anshar. Malam ini
Leanis kembali belajar satu hal. Belajar dari hal-hal kecil yang mungkin dengan
gampangnya dilupakan. [ ]
Dear
Penguasa Langit...
Hatiku
selalu bertanya kenapa Kau mempertemukan kami para penghuni daratan dengan
penghuni daratan lainnya jika pada akhirnya Kau justru membuat kami terpisah. Bukankah
perpisahan itu menyakitkan. Seperti sebuah belati yang menancap yang sekali
tarik akan begitu terasa sakitnya. Tapi tampaknya saya mengerti, bertemu untuk
berpisah. Saya paham sekarang alasan-Mu mempertemukan kami lalu memisahkan
kami. Yang jelas tujuan dari itu semua adalah bahagia. Oh iya, sampaikan
salamku pada Anshar Penguasa Langit, katakan padanya bahwa temannya yang tidak
tahu malu ini rindu padanya.
_Leanis_
Wah keren PARAHHH!!! Tulisannya...
BalasHapusEh dont forget visit my blog too, at
http://jejaksidepat.blogspot.com
Okeh okeh.
KEEP BLOGING!!
Wassalamualaikum wr wb..
Wah ada tamu. Terima kasih udah mampir. kapan-kapan main lagi yak. :D
BalasHapusOkesip, saya juga berkunjung setelah membalas komennya.