September 25, 2012

BERTEMU UNTUK BERPISAH

      Langit pagi ini lumayan membuat rasa malas Leanis untuk ke kantor muncul. Matanya benar-benar tidak dapat diajak kompromi, semalaman dia tidak bisa tidur saking cemasnya memikirkan keponakannya yang tiba-tiba muntah lagi. Ketakutannya ketika keponakannya sakit muncul lagi, ini yang membuatnya kembali menjadi zombie yang baik kemarin malam. Leanis meraih ponselnya melihat jam di layar ponselnya, disana menunjukkan pukul 6.15 am. Masih bisa tidur lima belas menit lagi, batinnya. Leanis kembali menutup matanya sambil terus memegangi ponselnya.
      Dalam mimpi dia melihat gambar Adit yang pernah di berikan di coret-coret oleh temannya, wajahnya di rubah menjadi wajah ketakutan, sementara disampingnya ada sebuah gambar pocong sedang menakuti Adit. Di lihatnya baik-baik gambar yang susah payah dia buat itu, ada rasa marah juga jengkel di hatinya. Namun karena ulah iseng temannya ini banyak yang menertawai gambar wajah Adit. Dan itu yang membuat Leanis merasa marah.
    Suasana kini berganti, Leanis sedang berdiri di atas sebuah jembatan kayu yang di bawahnya adalah lautan. Dia berdiri disana seorang diri, lalu sedetik kemudian jembatan tempat ia berpijak rubuh, tubuhnya tenggelam di air, merontak-ronta meminta pertolongan namun tidak ada siapapun disana yang mendengarnya.
            “Astagfirullah...” Sahutnya begitu matanya terbuka. “Mimpi buruk lagi.”
            Leanis kembali meraih ponselnya, dilayar ponselnya kini tertera angka 6.47 am. MAMPUS!! TELAT NIH!! Batin Leanis seraya bergegas mengambil handuk dan melakukan kebiasaan lamanya yang telah lama hilang, mandi kilat. Dalam aturan mandi kilat Leanis yang terpenting adalah, gosok gigi dan cuci muka. Selebihnya terserah anda.
***
            Begitu tiba di parkiran, Leanis bergegas memarkir motornya. Begitu si pink telah terparkir rapi barulah Leanis sedikit berlari mengejar waktu. Jam 8.05 am adalah jam dimana lift lagi padat-padatnya. Dan benar saja, begitu Leanis masuk di depan Lift telah berkumpul lumayan banyak orang.
            “Ayolah, cepat-cepat-cepat-cepat-cepat-cepat!” Leanis berkata pelan pada dirinya. Tubuhnya ikutan tidak sabaran menunggu lift terbuka, begitu terbuka Leanis langsung menerobos masuk. Mantra yang dari tadi dia ucapkan masih terus dia ucapkan, orang-orang di dalam lift bahkan sesekali melihatnya.
            “Nyaris saja!” Ucap Leanis begitu selesai absen. Kondisi kantor sudah lumayan ramai, Zalia yang duduk disebelah Leanis juga sudah datang. Dengan senyum ramah seperti biasa Leanis menyapa Zalia, bercanda dengannya.
            “Sarapan yuk! Lapar nih!!” Ajak Leanis.
”Sudah tidak puasa ya kak?” Tanya Zalia.
“Iya. Hari ini kan saya lebaran” Leanis kembali menebar senyumnya.
“Ya udah ayuk!”
“Ajak si Uly juga sama kak Agha.” Leanis mencari-cari Uly di tempatnya.
“Yaaa... mereka mah udah makan dari tadi kak. Mereka masih ada di penjual bubur. By the way kita makan dimana?”
“Di lantai 1 saja. Djuku.” Leanis membawa lembaran kupon makan yang menjadi alat ganti uang di lingkungan kantornya.
***
            Tumpukan kertas kerja kini memenuhi meja Leanis, BBM dari bosnya juga mampir sekedar mengingatkan untuk kembali mengecek jurnal-jurnal. Leanis fokus mengerjakan tugas yang kemarin belum selesai, begitu dia selesai barulah dia mengerjakan tugas yang lainnya. Sambil bekerja sesekali Leanis bercanda dengan Zalia, ketika Zalia sedang tidak melakukan apa-apa dia pasti akan senang mengganggu atau sekedar bertanya hal yang tidak penting sama Leanis.
            Leanis masih sibuk bekerja ketika tiba-tiba matanya menatap ponselnya yang terus berbunyi dari tadi. Satu pesan singkat dari Kak Dea, “Saya dikantor dongg sekarang.” Leanis tersenyum sebentar menatap pesan singkat dari teman kantornya itu, lalu segera Leanis membalasnya, “Jadi saya harus bilang GILAKKKK gitu kak?”
            Selesai membalas pesan, pikiran Leanis kembali ke Adit. Dari bangun tidur Leanis belum pernah melihat tweet Adit. Buru-buru di bukanya Twitter Adit, dilihatnya percakapan Adit dengan seorang teman wanitanya.
            “Apa sekarang kamu cemburu?” tanya logika Leanis.
            “Hmm.. cemburu pun saya tidak berhak. Sudahlah, kembali kerja Nis!” balas hati Leanis.
            Ponsel kembali Leanis letakkan. Begitu Leanis kembali fokus pada tumpukan kertas kerjanya, tiba-tiba saja suasana kantor kembali ramai. Dea baru saja datang, menurut kabar yang Leanis terima hari ini hari terakhir Dea masuk kantor, besok atau lusa mungkin dia akan meninggalkan Makassar, meninggalkan teman-temannya, juga keluarga. Dia pergi untuk sebuah tujuan, tujuan yang bahagia.
            Leanis kembali terpaku melihat sosok Dea, Dea adalah salah satu wanita yang begitu di kagumi oleh Leanis. Sifat lemah lembutnya, sifat penyabarnya, banyak hal yang Leanis dapat dari pertama dia berkenalan dengan Dea. Hal-hal yang mungkin tidak pernah dia dapatkan dari kakaknya sendiri. Leanis masih menatap Dea dari kejauhan, begitu Dea sedang asyik berbincang dengan Uly, Leanis tertarik untuk ikutan ngobrol.
            “Kak dea kan perginya besok. Kenang-kenangan buat saya mana kak?” Ucap Leanis menyela percakapan Uly dan Dea.
            “Hahahaha, kenang-kenangan apa? Ini saja cincin kawin saya.” Balas Dea bercanda.
            Leanis memperhatikan penampilan Dea hari ini, seperti biasa. Pakaian yang selalu ceria dengan wajah yang selalu memesona. Di bagian bahunya Leanis melihat bros yang digunakan untuk mempercantik tampilan jilbabnya.
            “Saya minta brosnya saja kak!” Leanis langsung mengambil bros Dea. “Sebagai gantinya saya kasih foto yang dimeja saya ya. Tunggu sebentar!” sambungnya.
            Leanis lalu membawa sebuah foto, foto dia dan teman-teman kantornya. Dea menatap lama foto itu, senyumnya tak kunjung hilang dari wajah Dea. Dalam hati Leanis benar-benar akan merasa kehilangan. Sosok wanita yang begitu baik padanya, wanita yang memiliki suara paling merdu sedunia, wanita yang mungkin memiliki sifat penyabar yang tidak ada batasnya.
***
            Jam lima tepat, waktunya perpisahan. Dea mulai pamitan dengan semua karyawan satu persatu. Dari jauh Leanis hanya mendengarkan, tidak mampu rasanya ia melihat wajah kakak yang begitu dia kagumi, sudah cukup Leanis menangis bersama ketika melihat sebuah film dokumenter yang dipersembahkan untuk Dea.
            Leanis membuka sebuah buku catatan yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Di bukanya lembaran yang kosong, Leanis lalu menulis beberapa kata yang mungkin bisa menginspirasinya ketika menulis dimalam hari.
            Kenapa harus bertemu jika pada akhirnya berpisah? Sampai sekarang Kau belum menjawab pertanyaanku ini Penguasa Langit. Apa karena Kau terlampau sibuk mengurusi penghuni daratan yang kian hari kian bandel? Atau karena Kau begitu sibuk meminta Sirius mencari mata-mata baru selain saya, hingga sampai detik ini Kau tidak pernah menyiapkan jawaban ketika Saya bertanya. Namanya Dea Pradana Kusuma, hari ini kami terakhir kali bertemu, ada banyak hal yang ingin saya katakan padanya, banyak hal yang ingin saya akui. Saya ingin menangis, namun terlampau malu memperlihatkan wajah jelek saya di hadapan orang-orang. Saya ingin menahannya namun ini jalan-Mu bukan? Pada siapa lagi saya belajar jika bukan dari dia. Tolonglah Penguasa Langit, Kau melihat dari Langit-Mu, melihat semua penghuni daratan-Mu, jaga Kak Dea baik-baik. Jika tidak, mungkin saya akan berhenti menjadi mata-mata sirius. Dan itu artinya tidak akan ada lagi laporan yang bisa saya sampaikan.
_Shirarius_
            “Hey kau!” Tegur Dea mengejutkan Leanis. “Jangan pura-pura sibuk! Saya mau pamitan.” Dea menjabat tangan Leanis, mencium pipinya lalu berucap pelan “Saya bakalan main kesini kok kalau kemakassar.”
            “Kak dea hati-hati ya!” Ucap Leanis.
            Bahkan disaat berpisah dengan sebuah keluarga baru seperti ini, Dea masih sanggup tersenyum. Semua orang yang membalas uluran tangannya selalu berkata “Dea tinggal saja disini. Jangan pergilah! Suaminya saja yang disuruh kesini!” Betapa semua orang sayang sama Dea.
***
            Leanis kembali merobohkan tubuhnya di tempat tidur, matanya berair. Baru sekarang dia merasa sepi. Sendirian. Dikamarnya hanya ada dia dan suara kipas angin yang terdengar sedikit berisik. Memorynya kembali mengingatkan dia pada sosok teman lamanya yang kini sudah menjadi penghuni Langit. Kali ini Leanis menulis di laptopnya, rasanya janjinya untuk menulis sesuatu tentang Anshar bisa dia lakukan sekarang.
            Namanya Anshar. Pertama kali saya bertemu dengannya ketika SMA kelas 3. Dia anak yang pendiam namun sangat murah senyum. Setiap kali kami berpapasan pasti dia tersenyum padaku. Awalnya saya pikir anak ini rada gak normal, soalnya dia selalu tertawa walaupun itu tidak lucu. Anshar juga tidak begitu pintar, namun dia sangat pintar menyontek. Saya masih ingat jelas, ketika ujian dia dengan mudahnya dan cepatnya menyelesaikan semua soal. Dan ketika raport di terima, nilainya bagus-bagus saja. Oh iya, Anshar itu juga sangat grogi kalau dekat-dekat cewek.
            Ketika saya hendak berkuliah ke Makassar Anshar ada untuk mengantar saya dengan teman-teman yang lain. Dia adalah seorang yang begitu setia kawan. Waktu itu tahun 2007 , SNMPTN saya dan Anshar masih sempat bertemu. Kami bahkan masih sempat ngobrol dan makan bersama.
            “Kamu daftar disini juga?” Tanyaku yang begitu terkejut saat melihat Anshar.
            “He’em” ucapnya singkat seperti biasanya.
            “Kamu daftar apa? Jurusan apa? Ekonomi juga? Atau hukum?” tanyaku tanpa mempersilahkan Anshar menjawab satu persatu pertanyaanku. Lagi-lagi Anshar hanya tersenyum. Lalu menggeleng.
            “Ihhh, kamu tuh di tanyain daftar apaan malah senyum-senyum gitu!”
            “Heheh... saya daftar karena disuruh kakak. Sebenarnya malas kalau mesti kuliah. Mendingan saya tinggal di rumah bantu-bantu orang tua.” Ucapnya.
            “Lah, kuliah kan juga bantu-bantu orang tua. Kalau kita lulus nanti kerja kan kita yang bakalan bantu mereka.”
            “Iya kalau waktu kita cukup.”
            Perkataan Anshar kali itu benar-benar membingungkan. Antara percaya atau tidak baru kali ini anak ini terdengar begitu bijak ketika berucap.
            “Ehh makan gih rotinya biar nanti tes selanjutnya gak kelaperan di kelas.”
            Hari itu hari terakhirku bertemu dengan Anshar. Selesai tes saya tidak lagi bisa menemuinya, perkuliahan sudah dimulai ditambah Anshar tidak pernah menggunakan ponsel, dia hanya memberi nomer telepon rumahnya. Setiap kali diminta sama anak-anak untuk beli hape jawabannya selalu sama, “Saya selalu ada dirumah jadi kalau ada apa-apa silahkan hubungi saya di rumah saja.”
            Saya tidak ingat jelas, entah itu akhir tahun 2007 atau pertengahan 2008. Pagi-pagi buta saya dikejutkan oleh sebuah kabar dari seorang teman. Ponsel saya berdering membuat saya dengan terpaksa mengangkatnya.
            “Ya... Assalamu’alaikum.” Ucapku dengan nada malas.
            “Nis... Anshar Nis....” balas orang diseberang telepon dengan suara menahan tangis.
            “Kenapa? Anshar kenapa?”
            “Dia udah gak ada. Pagi ini dia meninggal dunia di rumah sakit. Jenazahnya akan langsung diantarkan ke sini pagi ini juga.”
            Saya tidak sanggup berkata-kata lagi. Sontak air mata saya langsung jatuh, suara Yuni terdengar begitu pelan. Memory saya kembali mengingat ketika kami ngobrol sewaktu mengikuti tes SNMPTN. Anshar yang masih ceria yang masih dengan senyumannya, yang masih dengan kesederhanaannya. Ucapannya ketika itu kini saya mengerti, “Jika kita punya cukup waktu.”
            “Kata dokter ada kanker yang sudah sangat besar tumbuh di dalam perut Anshar. Operasi pagi ini untuk mengangkat kanker itu tapi ternyata usaha dokter tidak berjalan baik. Sudah cukup lama Anshar menyimpan penyakitnya ini sendirian tanpa memberi tahu orang-orang dirumah atau teman terdekatnya.”
            Saya masih menyimak Yuni yang berbicara tanpa mampu mengeluarkan sepatah katapun. Buru-buru saya mencari pemberian terakhir Anshar, sebuah gelang dari karet berwarna hitam yang tidak cocok jika saya gunakan.
            “Anak-anak bakalan ngelayat sore ini. Kamu gak ikutan?”
            “Bagaimana caranya Yun? Saya ada final, kalaupun minta sama bapak buat pulang pasti gak dizinkan.” Tangisku makin menjadi-jadi.
            “Kalau kamu tidak bisa tidak perlu di paksakan. Kamu doakan dia dari jauh saja, itu sudah lebih dari cukup.”
            “Iya. Maaf...” Suaraku nyaris tidak terdengar. Telepon terputus.
            Leanis membaca kembali apa yang ditulisnya. Mungkin begini juga sudah cukup. Air matanya kembali mengalir, Anshar adalah salah satu teman yang begitu baik yang begitu memperhatikannya dan juga yang begitu bijaksana. Diumur yang begitu muda dia bahkan rela menanggung beban sendirian, menanggung sakit sendirian, semua dia lakukan karena satu hal, dia tidak ingin membebani keluarganya dengan biaya pengobatan yang begitu mahal.
            Tangis Leanis makin menjadi-jadi. Laptop dia tutup, kembali dia tidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Malam ini pikirannya teralihkan oleh Anshar, bahkan Adit yang selalu gentayangan di pikirannya malam ini berhasil dikalahkan oleh Anshar. Malam ini Leanis kembali belajar satu hal. Belajar dari hal-hal kecil yang mungkin dengan gampangnya dilupakan. [ ]
            Dear Penguasa Langit...
            Hatiku selalu bertanya kenapa Kau mempertemukan kami para penghuni daratan dengan penghuni daratan lainnya jika pada akhirnya Kau justru membuat kami terpisah. Bukankah perpisahan itu menyakitkan. Seperti sebuah belati yang menancap yang sekali tarik akan begitu terasa sakitnya. Tapi tampaknya saya mengerti, bertemu untuk berpisah. Saya paham sekarang alasan-Mu mempertemukan kami lalu memisahkan kami. Yang jelas tujuan dari itu semua adalah bahagia. Oh iya, sampaikan salamku pada Anshar Penguasa Langit, katakan padanya bahwa temannya yang tidak tahu malu ini rindu padanya.
_Leanis_

2 komentar:

  1. Wah keren PARAHHH!!! Tulisannya...
    Eh dont forget visit my blog too, at
    http://jejaksidepat.blogspot.com
    Okeh okeh.
    KEEP BLOGING!!

    Wassalamualaikum wr wb..

    BalasHapus
  2. Wah ada tamu. Terima kasih udah mampir. kapan-kapan main lagi yak. :D

    Okesip, saya juga berkunjung setelah membalas komennya.

    BalasHapus