Oktober 01, 2015

Cerpen : Rumah

Dua pasang mata sedang menatap langit di sore hari, memandang keindahan senja yang selalu mereka sukai sejak lama. Lebih lama dibandingkan waktu mereka yang di persatukan waktu. Dua pasang mata itu, sedang sibuk. Sibuk mengagumi senja, sementara sepasang mata lainnya sibuk mengagumi senja yang lain. Keduanya terlarut dalam keindahan lainnya.

"Senang ya jadi perempuannya Ego." Kata Hati memulai pembicaraan.

"Apa enaknya? Kamu masih cemburu?" Sambung Gika memalingkan wajahnya.

"Ya senang saja. Salah ya kalau aku cemburu?" Hati menatap wajah Gika, wajah seseorang yang cukup lama menemani masa kecil.

"Aku lebih senang kamu dibanding yang lain." Komentar Gika membuat Hati menatapnya kembali, kali ini cukup lama.

"Maksud kamu?" 

"Kamu itu seperti rumah, Ti." Gika tersenyum.

Hati menatap wajah itu kembali, mencari tahu maksud ucapannya. Mencoba mencerna apa yang baru saja Gika katakan. Si penulis puisi yang satu ini memang selalu penuh kejutan. Ada saja hal-hal mengejutkan yang keluar dari mulutnya yang membuat Hati terpana cukup lama.

"Cahaya Hati. Ku." Ucap Gika bercanda. "Di dunia ini ada banyak karakter manusia, ada banyak jenisnya yang kadang membuat kita merasa kagum, merasa jatuh cinta, merasa sebel, merasa benci, atau merasa ilfeel. Dari kesemua jenis itu, aku paling suka karakter manusia yang membuat kita merasa berada di rumah sendiri." Lanjut Gika kemudian.

"Maksud kamu? aku masih belum ngerti." Hati masih mencoba memikirkan ucapan Gika.

"Kamu seperti rumah buatku, Ti. Setiap kali aku merasa kesal, aku pasti ke kamu. Setiap kali aku, ingin menangis pasti ke kamu juga. Di dekat kamu aku bisa menjadi Adrigikandra yang gila, yang bawel, yang cengeng, dan malu-maluin. Cuma di kamu aku bisa begitu." Jelas Gika lagi.

"Ya iyalah. Kita kan sudah kenal sejak lama, sahabatan sejak kita belum mengenal jatuh cinta. Aku juga sama ke kamu. Seperti itu." Hati mengiyakan omongan Gika.

"Apa ke Ego kamu juga begitu? Seperti kamu ke aku atau ke Lala?" Gika menatap Hati.

"Iya. Aku selalu terbuka sama siapa saja, bahkan ke Widi yang baru ku kenal lewat acara bedah buku kemarin. Aku bisa jadi gila, bisa konyol, dan bisa jadi pendiam. Kepada siapapun aku duduk bersama, aku selalu seperti itu."

"Nah itu yang membuat kamu seperti rumah. Kamu tempat dimana kami selalu bisa menjadi diri kami. Kamu tidak pernah malu bahkan saat oon-nya kamu kumat, kamu selalu membuat orang-orang di sekitarmu cepat akrab denganmu. Dan tidak jarang ku lihat, bahkan pedagang asongan pun yang ngobrol denganmu bisa seperti telah lama kenal denganmu." Gika kembali menjelaskan.

"Jika aku seperti rumah, kenapa Ego justru pergi?" Hati menunduk.

"Bisa saja rumah yang dia cari bukan rumah seperti mu. Mungkin dia mencari rumah yang menawarkannya kemewahan, menawarkannya status sosial yang tinggi, atau mungkin yang menawarkannya keindahan saja. Bisa saja kan?" Gika menjawab sekenanya.

"Jadi menurutmu, aku sebuah rumah kecil yang memang tidak layak untuk di lihat lama-lama?" Hati makin menunduk.

"Ya ampun, Cahaya Hati-ku." Gika menepuk bahu Hati cukup keras. "Kamu rumah sederhana, yang dimana saat mata memandangmu ada kesejukan sendiri. Jika itu aku, aku akan lebih memilih rumah sederhana yang setiap kali pulang aku bisa tersenyum bahagia, bukan pura-pura bahagia." Tambah Gika.

"Kenapa kamu begitu baik Gika?" Hati menangis.

"Kenapa kamu jauh lebih baik, Hati?" Gika tersenyum.

Mereka berdua kembali larut dalam heningnya senja. Diam, namun hati mereka saling mengatakan juga bertanya perihal yang sama. Mata Hati masih berkaca-kaca, Gika masih sibuk dengan lantunan melodinya yang selalu dia lantunkan saat Hati sedih.

"Kamu jangan menangis lagi, Ti. Suatu hari akan ada yang mengetuk pintu rumahmu, akan ada yang bisa bertahan denganmu, sekuat apapun badai menerpa rumahmu. Dia akan tetap menggenggam tanganmu, dan berkata 'aku ingin selalu tinggal di rumah ini.' Jadi, simpan air matamu untuk penghuni rumahmu yang tepat." Kata Gika.

"Ku harap penghuninya sepertimu Gika." Hati tersenyum, spontan Gika menatap wajah Hati dengan ekspresi terkejutnya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar