Oktober 16, 2015

Cerpen : Menunggu Dan Di tunggu

Ada yang ku tunggu di tengah indahnya senja.
Dia yang lebih indah dibandingkan senja.
Dia yang sebening embun.
Dia yang lebih menyejukkan dibanding hujan.

Suara sorak perempuan memenuhi ruangan begitu Gika selesai membacakan puisinya yang berjudul "Kamu Ku Tunggu". Beberapa peserta yang ikut hadir dalam bedah buku miliknya terlihat terhipnotis. Beberapa bulan memang buku Gika laris manis di pasaran, tak heran dia memiliki banyak pengagum perempuan.

Moderator memberikan kesempatan untuk tiga penanya di sesi pertama ini. Gika yang kebetulan juga sedang mencari, sibuk memperhatikan wajah peserta satu per satu. Ia ingin melihat kalau-kalau orang yang dia tunggu muncul di acara bedah bukunya.

"Terima kasih untuk kesempatannya. Pertanyaan saya, berapa lama waktu yang kak Gika habiskan untuk menulis buku kakak? Hm juga, apa ada kendala selama penulisan hingga terbitnya buku kak Gika?" Tanya penanya pertama yang secara kebetulan seorang perempuan.


Gika berjalan menuju lebih dekat ke arah penanya, dia ingin memastikan wajah seseorang. Begitu jarak jangkau matanya cukup untuk memastikan sosok tersebut, Gika melemparkan senyum lalu mulai berbicara, "Untuk merampung buku saya tidak butuh waktu yang lama, cuma sekitar 6 bulan untuk mengumpulkan semua tulisan. Dan sebulan untuk revisi tulisan. Kendalanya mungkin hampir sama dengan penulis-penulis yang lain ya, ada kala dalam revisi beberapa bagian yang menurut saya bagus harus di buang, juga ada puisi yang tidak bisa saya ikutsertakan. Kalau kendala lain, datangnya dari inspirasi saja."

Gika melanjutkan ke penanya kedua. Si penanya kedua berdiri, menyapa lalu dengan cepat menyampaikan pertanyaannya. "Mas Gika, sosok di balik semua puisi mas Gika, kalau kami boleh tahu siapa?"

Gika tersenyum lebar, menahan tawanya yang hampir meledak karena pertanyaan sesingkat itu.
"Sosok dibalik puisi saya? Dia perempuan yang tangguh, perempuan yang amanah, perempuan yang tidak suka mengingkari janji. Dia selalu ku sebut hujan di musim kemarau, sebab hadirnya selalu bisa menyejukkan. Maaf untuk tidak menyebutkan nama."

"Kenalkan, nama saya Lala. Saya pengagum mas Adrigikandra. Seandainya, sosok dibalik puisi-puisi mas Adri ternyata tidak ingin di temukan atau di tunggu oleh mas, bagaimana? Ini pertanyaan sambungan dari penanya yang tadi. Hm, kenapa mas tidak mencoba menulis buku Fiksi atau Novel non fiksi? Itu saja terima kasih." Penanya ketiga kembali duduk.

"Mari berandai-andai, seandainya dia yang ku tunggu tidak ingin di tunggu atau di temukan maka akan tetap saya tunggu. Kenapa? Karena ada yang memang layak di tunggu dan ada yang tidak, sosok di balik puisiku layak di tunggu, namun untuk menemukannya masih harus melewati ribuan jalan yang bercabang. Saya tidak akan menulis buku fiksi, sebab ada yang lebih hebat menuliskannya dibandingkan saya."

Gika kembali melangkah ke kursinya dengan pertanyaan yang terus diulang hatinya, "Bagaimana jika benar, dia tidak ingin lagi di temukan olehku?".

Menunggu dan di tunggu adalah dua hal yang jelas berbeda, menunggu itu selalu dengan harapan di pertemukan kembali dan di tunggu kadang-kadang dengan harapan tidak ingin bertemu lagi atau ingin tetap di tunggu. Tentang menunggu dan di tunggu kadang kala lebih banyak melibatkan ego manusia, ego yang kadang kala membuatnya menyesal pada keputusan akhirnya.
Gika membaca pesan temannya setelah bertanya. Dia makin lincah mengetik dengan begitu cepat. Buru-buru dia membalas pesan temannya sebelum menjawab pertanyaan lagi.
Posisi menunggu adalah bagian paling sulit. Saat yang kamu tunggu ternyata tidak merasa di tunggu olehmu atau tidak ingin di tunggu, maka satu-satunya jalan cuma ikhlas saat kalian di pertemukan kembali. Pilihan tetap ada di tanganmu, ingin menunggu sembari berusaha menemukannya, atau melepasnya saat ini juga. Kamu pilih mana?
"Gimana nih Mas Gika pertanyaan selanjutnya?" Tanya moderator.

"Pertanyaannya apa ya?" Gika berbisik pelan.

"Puisi yang baru saja mas Gika bacakan. Tentang menunggu, apa bagian terbaik dari menunggu menurut Mas?" Ucap moderator.

"Bagian terbaik ya?" Gika menatap jauh, mencoba mencari tahu apa yang terbaik yang dia dapatkan dari menunggu selama ini.
"Bagian terbaik dari menunggu cuma satu, sabar. Kita bisa sabar, sabar terhadap rindu, sabar terhadap cinta, dan sabar terhadap pertemuan. Menunggu itu bukan kegiatan yang sia-sia, selama dalam proses menunggu kita melakukan hal-hal baik. Semisal, kita menjaga diri untuk seseorang yang kita tunggu walau mungkin yang kita tunggu tidak melakukan hal yang sama. Walau yang kita tunggu pada akhirnya menemukan lebih dulu, kita akan tetap bisa sabar. Sebab selama proses menunggu itu, latihan kesabaran kita terus meningkat. Jadi, menunggulah. Selama yang kita tunggu layak untuk di tunggu." Sambung Gika kemudian.

Beberapa menit kemudian kegiatan di tutup dengan sesi berfoto. Dalam perjalanan pulang ada saja pertanyaan yang timbul di benak Gika, tentang sabarnya, tentang pertemuan, juga tentang asumsi-asumsi lainnya.
"Jika memang di kehendaki bertemu, kita pasti bertemu kan, Ti!" Ucap Gika dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar