Tidak ada debu di kamar ini. Semua
buku yang tersebar di meja sudah tertata rapi kembali. Pulpen berwarna Jingga
pun telah kembali ke box tempat dia berada. Hanya sebuah sketsa wajah yang
masih saja tertempel di dinding didepan meja. Ada tiga sketsa wajah disana.
Seorang anak kecil yang bagian bawahnya tertulis –ys-, seorang pria dengan inisial –a.h- di bagian kanan jaketnya, dan seorang wanita berjilbab dengan
inisial –f-. Mereka semua tersenyum
dengan senyum yang berbeda.
-ys-
“Senyum itu, senyum tertegar yang pernah kulihat.”
-a.h-
“Teeth, show you how happiness you are. I wish always see those smile.”
-f-
“Teduh”
Teduh? Istilah
ini sering dia dapati dulu. Bahkan ketika bertatap muka, pemilik sketsa ini
masih sering menyebut teduh. Jendela kamar ia buka perlahan, membiarkan angin
masuk untuk membuat kamar itu terlihat hidup kembali.
Pemandangan yang telah lama ia dapatkan
kembali dia lihat. Sosok anak kecil yang bermain layangan juga seorang nenek
yang sedang menyapu halaman rumahnya. Entah sudah berapa lama teduh tidak lagi
berkunjung ke kerajaan Jingga. Rasa rindunya yang mengantarkan dia kembali ke
ruangan ini setelah tiga tahun dia menutup telinga tentang senja yang begitu
ingin bertemu teduh.
Dia duduk di meja dekat jendela,
membuka laci tempat dia menemukan semua catatan senja untuk dirinya. Di meja
itu dia tahu semua rahasia senja, tentang ketulusan dan kebaikan yang telah
lama dia diamkan. Sebuah buku berwarna merah muda masih menarik perhatiannya.
Buku itu pernah dia pegang selama 3 bulan, dan kembali dia pegang setelah 3
tahun. Tidak ada yang berubah sama sekali, masih sama. Hanya bagian belakang
yang terlihat sangat berusaha dia tulis. Bagian terakhir tulisan itu “Akan ku minta kebahagiaan untuk kalian pada
Allah. Agar senyum itu tidak akan pernah hilang.”
Buku itu kembali di letakkan di laci.
Sedetik kemudian, matanya melihat sebuah bingkai foto. Dibalik bingkai foto itu
terlihat Senja sedang tersenyum dengan bahagia. Disampingnya berdiri seorang
pria yang memaksakan diri untuk tersenyum, matanya justru terlihat begitu
sedih. Dan lagi-lagi di bagian bawah foto tertera sebuah tulisan, ”Bahkan dikehidupan lainnya, saya harap
Allah tetap membuatku jatuh cinta padamu.”
“Terima kasih telah berkunjung. Dia
pasti senang kamu masih mengingatnya.” Wanita paruh baya dengan busana coklat
menyapa teduh.
“Aku senang tante bisa datang lagi.
Maafin, waktu pemakaman kemarin aku gak bisa hadir.” Teduh menyimpan kembali
bingkai foto itu.
“Tidak apa-apa nak.”
“Apa kabar pemuda di foto itu tante?”
“Entahlah nak. Semoga dia baik-baik
saja.”
Teduh berhenti melontarkan
pertanyaan. Ada sedikit rasa sedih yang terlihat di wajah wanita hebat itu. Luka
karena kehilangan mungkin tidak akan bisa sembuh, bekasnya masih jelas ada,
tertanam dalam. Hanya rasa rindu untuk berkumpul di Jannah yang membuatnya
masih bisa tersenyum pada teduh. Sebuah penantian yang cukup panjang, namun
mampu membuat bahagia. Cerita tiga tahun lalu tidak akan dia lupa, tentang sebuah
penantian, kebaikan, dan keikhlasan. Juga sebuah kesabaran tanpa batas untuk
sebuah cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar