Juni 13, 2014

Selamatkan Mereka

Selamat pagi menjelang siang. Tulisan saya kali ini terinspirasi dari obrolan siang bersama dua teman saya ketika membahas tentang anak jalanan. Nama dan lokasi akan saya samarkan biar yang baca gak pada nyariin.

Jalan-jalan sangat padat di jam-jam pulang kantor seperti ini. Hampir setiap jalan macet di sore harinya. Kota Makassar kian lama kian sempit menurutku, atau hanya ego masyarakat yang membuatnya semakin sempit. Seandainya saja masyarakat sadar untuk mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi bukan melebarkan jalanan. Bayangkan saja, setiap kali di lakukan pelebaran jalan maka setiap menit juga masyarakat berfikir untuk membeli mobil atau sepeda motor.

Lihat saja, tidak lagi ada jalan-jalan untuk pejalan kaki. Bahkan ketika di trotoar pun pejalan kaki sering di klaksonin. Gimana gak gemes sama pengguna jalan sekarang ini. Orang-orang yang ingin bersepeda pun semakin enggan. Naik motor saja bisa keserempet saking tidak maunya mereka berbagi jalan. Jika saja mereka sedikit mengerti untuk bergerak bersama membangun kota menjadi lebih baik.

Ah, perihal itu aku tidak begitu tahu. Aku bukan seorang arsitek. Tidak juga mengerti tata kota seperti bapak Walikota Makassar. Aku hanya seorang anak rantau yang kebetulan sangat mengagumi pendidik dan orang-orang terdidik yang turun tangan langsung membantu yang kurang terdidik. Aku hanya satu dari sekian ribu orang yang tergerak untuk memperhatikan mereka yang tidak terperhatikan.

Sembari menunggu macet berlalu, aku berhenti di sebuah perempatan jalan yang ramai dengan pemadangan anak-anak memegang koran, atau orang tua yang duduk di kursi kayu kecil memohon belas kasih pengguna jalan. Sembari mencari minum yang segar, ku lihat seorang anak perempuan dengan pakaian yang lusuh dan minim sedang menjajakan korannya di jalan-jalan. Begitu lampu hijau, dia kembali ke pinggir jalan. Jarak kami tidak begitu jauh, aku bisa mencium bau gosong dari tubuhnya. Sengatan matahari membuatnya kian menghitam.

Tidak lama memperhatikan, ku panggil dia mendekat. Dia datang dengan harapan “Kakak ini pasti mau beli koranku.” Senyumnya lebar. Sembari menunggu lampu kembali merah ku ajak dia ngobrol. Bertanya seadanya saja, tidak lebih. Karena aku tahu tidak jauh dari tempatnya berdiri ada seseorang yang memperhatikannya.

“Nih buat kamu.” Aku memberikan uang lima ribuan. Dia lalu menyerahkan korannya padaku. Masih hati-hati aku menolak, “Tidak, saya tidak ingin membeli korannya. Saya cuma mau ngasih.” Ucapku lagi.

“Ambil korannya kak, klo tidak habis saya tidak bisa pulang ke rumah.” Katanya memaksa. Tanpa menolak lagi aku ambil saja korannya. Ku lihat dia sedikit gelisah karena beberapa kali dia ku tahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang enggan dia jawab. Namun ada beberapa yang berhasil dia jawab dengan berbisik, “Bos saya bisa marah kalau liat saya ngobrol begini kak.”

Sebelum berpisah, sempat saya bertanya “Adek kalau saya ajak kerja mau?” sambil berfikir dia melihat saya lalu bertanya “kerja apa kak?”

“Nyuci atau bersihin rumah bisa?”

“Gak ah kak. Susah.”

Ku lihat wajah kecil yang hitam itu lagi. Sembari bertanya dalam hati kenapa dia enggan bekerja. Padahal jualan koran lebih susah. Lalu kembali lagi aku bertanya, “Kamu mau kerja apa emangnya? Masa jualan koran sampe gede?”

Dengan entengnya sambil tersenyum dia menjawab “Saya mau jadi pelacur kak.” [ ]



Entah berapa banyak anak perempuan yang ingin seperti itu. Saya prihatin, mereka bertindak dan bermimpi seperti itu karena kurangnya yang memperhatikan. Kurangnya yang ingin membantu mereka, bukan dari segi lapangan kerja tapi dari segi pemberdayaan anak-anak. Bagaimana perasaan kalian jika bertemu dengan anak-anak yang memiliki mimpi seperti demikian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar