Selamat
pagi menjelang siang. Tulisan saya kali ini terinspirasi dari obrolan siang
bersama dua teman saya ketika membahas tentang anak jalanan. Nama dan lokasi
akan saya samarkan biar yang baca gak pada nyariin.
Jalan-jalan
sangat padat di jam-jam pulang kantor seperti ini. Hampir setiap jalan macet di
sore harinya. Kota Makassar kian lama kian sempit menurutku, atau hanya ego
masyarakat yang membuatnya semakin sempit. Seandainya saja masyarakat sadar
untuk mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi bukan melebarkan jalanan.
Bayangkan saja, setiap kali di lakukan pelebaran jalan maka setiap menit juga
masyarakat berfikir untuk membeli mobil atau sepeda motor.
Lihat
saja, tidak lagi ada jalan-jalan untuk pejalan kaki. Bahkan ketika di trotoar
pun pejalan kaki sering di klaksonin. Gimana gak gemes sama pengguna jalan
sekarang ini. Orang-orang yang ingin bersepeda pun semakin enggan. Naik motor
saja bisa keserempet saking tidak maunya mereka berbagi jalan. Jika saja mereka
sedikit mengerti untuk bergerak bersama membangun kota menjadi lebih baik.
Ah,
perihal itu aku tidak begitu tahu. Aku bukan seorang arsitek. Tidak juga
mengerti tata kota seperti bapak Walikota Makassar. Aku hanya seorang anak
rantau yang kebetulan sangat mengagumi pendidik dan orang-orang terdidik yang
turun tangan langsung membantu yang kurang terdidik. Aku hanya satu dari sekian
ribu orang yang tergerak untuk memperhatikan mereka yang tidak terperhatikan.
Sembari
menunggu macet berlalu, aku berhenti di sebuah perempatan jalan yang ramai
dengan pemadangan anak-anak memegang koran, atau orang tua yang duduk di kursi
kayu kecil memohon belas kasih pengguna jalan. Sembari mencari minum yang
segar, ku lihat seorang anak perempuan dengan pakaian yang lusuh dan minim
sedang menjajakan korannya di jalan-jalan. Begitu lampu hijau, dia kembali ke
pinggir jalan. Jarak kami tidak begitu jauh, aku bisa mencium bau gosong dari
tubuhnya. Sengatan matahari membuatnya kian menghitam.
Tidak
lama memperhatikan, ku panggil dia mendekat. Dia datang dengan harapan “Kakak
ini pasti mau beli koranku.” Senyumnya lebar. Sembari menunggu lampu kembali
merah ku ajak dia ngobrol. Bertanya seadanya saja, tidak lebih. Karena aku tahu
tidak jauh dari tempatnya berdiri ada seseorang yang memperhatikannya.
“Nih
buat kamu.” Aku memberikan uang lima ribuan. Dia lalu menyerahkan korannya
padaku. Masih hati-hati aku menolak, “Tidak, saya tidak ingin membeli korannya.
Saya cuma mau ngasih.” Ucapku lagi.
“Ambil
korannya kak, klo tidak habis saya tidak bisa pulang ke rumah.” Katanya
memaksa. Tanpa menolak lagi aku ambil saja korannya. Ku lihat dia sedikit
gelisah karena beberapa kali dia ku tahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
enggan dia jawab. Namun ada beberapa yang berhasil dia jawab dengan berbisik, “Bos saya bisa marah kalau liat saya ngobrol
begini kak.”
Sebelum
berpisah, sempat saya bertanya “Adek kalau saya ajak kerja mau?” sambil
berfikir dia melihat saya lalu bertanya “kerja apa kak?”
“Nyuci
atau bersihin rumah bisa?”
“Gak
ah kak. Susah.”
Ku
lihat wajah kecil yang hitam itu lagi. Sembari bertanya dalam hati kenapa dia
enggan bekerja. Padahal jualan koran lebih susah. Lalu kembali lagi aku
bertanya, “Kamu mau kerja apa emangnya? Masa jualan koran sampe gede?”
Dengan
entengnya sambil tersenyum dia menjawab “Saya mau jadi pelacur kak.” [ ]
Entah
berapa banyak anak perempuan yang ingin seperti itu. Saya prihatin, mereka
bertindak dan bermimpi seperti itu karena kurangnya yang memperhatikan.
Kurangnya yang ingin membantu mereka, bukan dari segi lapangan kerja tapi dari
segi pemberdayaan anak-anak. Bagaimana perasaan kalian jika bertemu dengan
anak-anak yang memiliki mimpi seperti demikian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar