Siapa aku? Tidak akan ada yang
mengenalku, hanya segelintir orang yang tahu aku ada di antara ribuan manusia
yang setiap harinya berkeliaran mencari sesuap nasi. Aku bahkan tidak berarti
di mata sebagian orang. Cercaan sering kali di layangkan kepadaku, wajah-wajah
sinis itu juga sering kali di perlihatkan di depanku. Mereka angkuh dengan
kesombongan yang tidak seharusnya mereka perlihatkan untuk orang kecil
sepertiku.
Siang hari aku habiskan waktuku
di Mesjid. Roda-roda kecil itu menemaniku setiap hari. Tak jarang aku tertidur
di teras mesjid karena begitu kelelahan. Otot-otot tanganku seolah ingin lepas
saja, setiap hari aku harus menguatkan diri untuk terus berjalan diantara
rombongan manusia-manusia yang menamakan diri mereka penguasa. Penguasa atas
apa yang di titipkan Allah. Kesombongan, kemunafikan, mereka pertontonkan
setiap harinya tanpa malu bahwa Allah menatapnya di atas. Aku bahkan kerap kali
menggunakan topeng-topeng yang mereka sering gunakan. Ya, ku gunakan untuk
merebut hati mereka. Dan pada akhirnya kemunafikan mereka di kalahkan oleh
ajaran mereka sendiri.
Jika ada waktuku kosong, mataku
akan terpejam sejam atau dua jam. Jika Allah tidak sedang menghukumku, begitu
bangun akan aku dapati beberapa lembar uang di depanku. Entahlah, orang-orang
munafik itu begitu kasihan denganku. Padahal aku tidak pernah ingin di
kasihani. Aku tidak ingin mengandalkan orang-orang untuk menolongku, karena aku
tahu Allah memberikanku otak agar aku tidak memelas kasihan di hadapan orang-orang.
Tak jauh dari tempatku sekarang
duduk, terlihat dua bocah sedang duduk memainkan ember cat sebagai drum yang
mewah baginya. Mengeluarkan nyanyian yang bahkan tidak begitu enak untuk di
dengarkan. Dua bocah itu selalu disana, sepanjang hari mereka menabuh ember cat
untuk selembar uang. Jika seseorang memberinya lebih mereka akan tersenyum
lebih lebar dari biasanya. Bocah itu senang memberiku juga, tidak. Tidak
memberiku dengan cuma-cuma. Roda-roda kecil itu yang menarik perhatiannya,
roda-roda kecil itu yang membuat mereka memberiku selembar atau beberapa lembar
uang.
Tanpa roda-roda kecil itu aku
hanya seorang manusia yang akan terus memohon belas kasih. Memohon untuk
beberapa lembar uang. Dua bocah itu kini duduk berdampingan denganku. Sesekali
mereka tertawa melihatku, memperlihatkan deretan gigi-gigi mereka menguning.
Bau matahari jelas saja tercium dari tubuh itu. Kami tertawa tanpa beban. Seolah
masalah-masalah yang menimpa kami hanya sebuah deretan lelucon yang dipersiapkan
Allah.
Begitu adzan magrib berkumandang,
aku melangkah pulang. Tempat terakhir yang begitu aku rindukan. Tempat dimana
orang-orang hebat yang Allah berikan berkumpul bersama.
“Sudah pulang kamu Asep.” Sahut
mama begitu melihatku melangkah masuk dengan roda-roda kecil yang membantuku
berjalan. Ku simpan toples kaleng yang berisi jajanan yang mama buat untuk ku
jual dijalanan.
“Iya mak. Asep sholat dulu. Telat
banget.”
“Laku berapa Sep?” Cegat mama
sebelum aku mengambil wudhu.
“Sepuluh biji. Uangnya ada di
kantong toples mak.”
Kakiku tidak lagi bisa ku gunakan
sejak SMP kelas 2. Patah tulang parah. Ayahku seorang penjudi, dia pemabuk
juga. Kerap kali aku tidak membawa uang pulang, maka apa saja yang ada di
hadapnnya akan melayang kepadaku. Masih ku ingat sebuah bambu besar yang aku
bawa pulang untuk praktikum sekolah dia gunakan untuk memukul kakiku, tepat di
tulang keringku. Belum hilang rasa sakitnya, kembali ia melayangkannya tepat di
tempat yang sama. Ayahku selalu bilang “Jika kakimu hanya kamu gunakan untuk
jalan tanpa menghasilkan mendingan kamu jangan pulang.”
Aku tidak membenci ayahku, hanya
kasihan. Setiap kali ada apa-apa dia selalu mencariku. Bahkan ketika aku tidak
lagi bisa berjalan. Dia masih datang mencariku di mimpi-mimpiku. Ayahku
meninggal setahun yang lalu, kecelakaan mobil. Dan anehnya ketika dia berpulang
kakinya hancur. Kini hampir setiap malam dia datang untuk meminta maaf, padahal
tidak pernah aku membencinya. Walau pada akhirnya berkat dia aku cacat dan
tidak lagi punya uang untuk melanjutkan sekolah.
Roda-roda kecil itu senantiasa
mengingatkanku pada usaha. Kerja keras. Roda-roda kecil itu mengingatkanku pada
luka, yang kian lama kian mengering. Roda-roda kecil itu mengingatkanku pada
Allah, bagaimana DIA mempertemukanku pada satu kehidupan yang begitu berarti. Kehidupan
yang akan terus berputar, tidak terhenti pada satu titik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar