Juni 19, 2014

Aku dan Roda Kecilku....

Siapa aku? Tidak akan ada yang mengenalku, hanya segelintir orang yang tahu aku ada di antara ribuan manusia yang setiap harinya berkeliaran mencari sesuap nasi. Aku bahkan tidak berarti di mata sebagian orang. Cercaan sering kali di layangkan kepadaku, wajah-wajah sinis itu juga sering kali di perlihatkan di depanku. Mereka angkuh dengan kesombongan yang tidak seharusnya mereka perlihatkan untuk orang kecil sepertiku.

Siang hari aku habiskan waktuku di Mesjid. Roda-roda kecil itu menemaniku setiap hari. Tak jarang aku tertidur di teras mesjid karena begitu kelelahan. Otot-otot tanganku seolah ingin lepas saja, setiap hari aku harus menguatkan diri untuk terus berjalan diantara rombongan manusia-manusia yang menamakan diri mereka penguasa. Penguasa atas apa yang di titipkan Allah. Kesombongan, kemunafikan, mereka pertontonkan setiap harinya tanpa malu bahwa Allah menatapnya di atas. Aku bahkan kerap kali menggunakan topeng-topeng yang mereka sering gunakan. Ya, ku gunakan untuk merebut hati mereka. Dan pada akhirnya kemunafikan mereka di kalahkan oleh ajaran mereka sendiri.

Jika ada waktuku kosong, mataku akan terpejam sejam atau dua jam. Jika Allah tidak sedang menghukumku, begitu bangun akan aku dapati beberapa lembar uang di depanku. Entahlah, orang-orang munafik itu begitu kasihan denganku. Padahal aku tidak pernah ingin di kasihani. Aku tidak ingin mengandalkan orang-orang untuk menolongku, karena aku tahu Allah memberikanku otak agar aku tidak memelas kasihan di hadapan orang-orang.

Tak jauh dari tempatku sekarang duduk, terlihat dua bocah sedang duduk memainkan ember cat sebagai drum yang mewah baginya. Mengeluarkan nyanyian yang bahkan tidak begitu enak untuk di dengarkan. Dua bocah itu selalu disana, sepanjang hari mereka menabuh ember cat untuk selembar uang. Jika seseorang memberinya lebih mereka akan tersenyum lebih lebar dari biasanya. Bocah itu senang memberiku juga, tidak. Tidak memberiku dengan cuma-cuma. Roda-roda kecil itu yang menarik perhatiannya, roda-roda kecil itu yang membuat mereka memberiku selembar atau beberapa lembar uang.

Tanpa roda-roda kecil itu aku hanya seorang manusia yang akan terus memohon belas kasih. Memohon untuk beberapa lembar uang. Dua bocah itu kini duduk berdampingan denganku. Sesekali mereka tertawa melihatku, memperlihatkan deretan gigi-gigi mereka menguning. Bau matahari jelas saja tercium dari tubuh itu. Kami tertawa tanpa beban. Seolah masalah-masalah yang menimpa kami hanya sebuah deretan lelucon yang dipersiapkan Allah.

Begitu adzan magrib berkumandang, aku melangkah pulang. Tempat terakhir yang begitu aku rindukan. Tempat dimana orang-orang hebat yang Allah berikan berkumpul bersama.

“Sudah pulang kamu Asep.” Sahut mama begitu melihatku melangkah masuk dengan roda-roda kecil yang membantuku berjalan. Ku simpan toples kaleng yang berisi jajanan yang mama buat untuk ku jual dijalanan.

“Iya mak. Asep sholat dulu. Telat banget.”

“Laku berapa Sep?” Cegat mama sebelum aku mengambil wudhu.

“Sepuluh biji. Uangnya ada di kantong toples mak.”

Kakiku tidak lagi bisa ku gunakan sejak SMP kelas 2. Patah tulang parah. Ayahku seorang penjudi, dia pemabuk juga. Kerap kali aku tidak membawa uang pulang, maka apa saja yang ada di hadapnnya akan melayang kepadaku. Masih ku ingat sebuah bambu besar yang aku bawa pulang untuk praktikum sekolah dia gunakan untuk memukul kakiku, tepat di tulang keringku. Belum hilang rasa sakitnya, kembali ia melayangkannya tepat di tempat yang sama. Ayahku selalu bilang “Jika kakimu hanya kamu gunakan untuk jalan tanpa menghasilkan mendingan kamu jangan pulang.”

Aku tidak membenci ayahku, hanya kasihan. Setiap kali ada apa-apa dia selalu mencariku. Bahkan ketika aku tidak lagi bisa berjalan. Dia masih datang mencariku di mimpi-mimpiku. Ayahku meninggal setahun yang lalu, kecelakaan mobil. Dan anehnya ketika dia berpulang kakinya hancur. Kini hampir setiap malam dia datang untuk meminta maaf, padahal tidak pernah aku membencinya. Walau pada akhirnya berkat dia aku cacat dan tidak lagi punya uang untuk melanjutkan sekolah.

Roda-roda kecil itu senantiasa mengingatkanku pada usaha. Kerja keras. Roda-roda kecil itu mengingatkanku pada luka, yang kian lama kian mengering. Roda-roda kecil itu mengingatkanku pada Allah, bagaimana DIA mempertemukanku pada satu kehidupan yang begitu berarti. Kehidupan yang akan terus berputar, tidak terhenti pada satu titik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar