"Hai Rin. Bagaimana tesnya?" Sapa seseorang ketika break ujian. Sosok yang tiga tahun atau mungkin 6 tahun terus-terusan ada di sekitarku. Dia tersenyum ramah, seperti biasa. Memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi dan putih. Kemeja bergaris dan celana jeans biru tua membuatnya semakin terlihat tampan.
"Lumayan susah." Padahal mau bilang "Ya ampun susah banget. Kamu tahu gak aku kerjaiinnya cuma sepuluh soal. itu juga aku gak yakin benar semua." Kami tidak seakrab apa yang hati inginkan. Dia cukup terkenal dingin di kalangan perempuan. Jika dekat dengan wanita, gerak tubuhnya akan begitu canggung, dan mulai mencari celah untuk kabur. Aku sering memperhatikannya.
"Apanya yang lumayan? Susah tahu. Kamu mah gampang, soalnya kamu pinter. Lah aku!" Katanya lagi sembari menyandarkan kepalanya di tiang besi. Dia duduk tepat disampingku, aku menyodorkan roti isi coklat yang aku bawa sebagai bekal ketika break ujian padanya. Dengan cepat dia melahapnya. Masih saja wajah itu terlihat begitu mempesona setelah sekian lama bersama.
"Makannya pelan-pelan saja. Gak lucu kalau kamu harus di larikan ke rumah sakit gara-gara keselek roti." Kataku tanpa berpaling sedikitpun. "Nih minum!" Botol aqua ku sodorkan lagi. Kali ini dia menolak. Tentu saja dia menolak, setengah air itu sudah habis, mana mau dia meminum air yang sudah ku teguk.
"Aku beli air minum dulu. Kalau minum punyamu takut habis. Tunggu ya, jangan kemana-mana."
Masih juga mata ini betah memandang punggungnya. Dia tinggi dengan susunan rambut yang lumayan rapi. Kemejanya dia biarkan keluarkan, celana yang dia gunakan pun bukan yang berbentuk botol. Yang begitu ketat di kaki. Dia mengagumkan dalam beberapa hal walau bukan dalam pelajaran.
"Habis ini Tes apa lagi?" Tanyanya memecah keheningan kami begitu dia kembali dengan dua minuman dingin di tangannya.
"IPS." Ucapku singkat.
"Ahhh~ IPA saja udah susah minta ampun sekarang IPS lagi?" Lagi-lagi dia menyandarkan kepalanya di tiang besi bangku tepat kami duduk.
"Kamu pasti lulus dengan mudah. Ambil jurusan apa?" Ucapnya lagi kali ini menatapku.
"Kedokteran. Yang kedua ekonomi. Kamu?"
"Gak tahu. Asal isi saja. Tapi kakak suruh masuk di teknik sih." Wajah itu kembali tersenyum. Sebuah senyuman yang selalu bisa membuatku tertawa beberapa tahun disekolah. Wajah itu tidak akan pernah bisa aku lupakan. Wajah ramah yang sempat berantem hebat kala beberapa anak menggangguku. Wajah pemberani yang begitu canggung dekat wanita tapi tidak denganku. Wajah yang terlihat begitu bersemangat. Dia Anshar, seorang teman yang sempat membuatku kagum pada sikap laki-laki. Sikap yang selalu menjaga, dan menenangkan. Sikap cuek dan ramah.
"Ehh, aku masuk dulu. Sukses ya. Kalau jadi dokter nanti jangan lupa hubungin aku, biar jadi pasien pertama kamu." Katanya sebelum masuk ke ruangan tesnya. "Ayo berjuang lagi!"
***
Hari itu 7 tahun silam. Entah kenapa tiba-tiba ingat Anshar. Ingat bagaimana dia dengan usahanya berusaha lulus di Universitas Hasanuddin, universitas sejuta umat Makassar. Dia dengan cueknya asal pilih jurusan tanpa tahu dia akan menjadi apa nantinya. Dia dengan segala rasa malasnya untuk belajar datang tanpa tahu soalnya begitu sulit. Masih teringat jelas, kali pertama kami bertemu ketika cek lokasi ujian. Anak muda yang tidak ingin kuliah tiba-tiba muncul. Seseorang yang juga sempat mengantar keberangkatanku ketika ke Makassar tiba-tiba muncul.
Ketika ku tanya, "Kamu mau kuliah disini juga." Dengan senyum khasnya dia menjawab tanpa rasa sungkan, "Sebenarnya gak mau kuliah. Cuma Ibu sering bilang, ayo coba tes dulu. kalau tidak lulus baru kembali pulang. Aku sih maunya dekat ibu saja, bantuin dia di rumah dengan usahanya."
Tiga bulan setelah lulus di Universitas Swasta, Anshar benar-benar pulang. Pulang ke rumah yang lebih baik. Dia tidak lulus, doanya untuk tinggal membantu ibunya setelah tes di kabulkan. Sehari setelah pemakamannya baru aku tahu, ada tumor yang tumbuh di perutnya. Sebuah penyakit yang sudah lama dia sembunyikan bahkan dari keluarganya. Satu-satunya alasan kenapa dia baru bilang seminggu sebelum kepulangannya cuma satu, "Tidak mau merepotkan siapapun. Apalagi membuat khawatir orang tua."
Sekarang aku tahu alasannya kenapa dia begitu canggung ketika dekat dengan wanita. Jatuh cinta mungkin mustahil baginya, jika saja aku tahu lebih cepat. Bisa saja kami lebih akrab dibanding dulu. Alasan dia tidak ingin kuliah, alasan dia ingin tinggal dekat dengan ibunya. Juga alasan dia menurut semua perkataan orang-orang di dekatnya. Dia tahu, cepat atau lambat dia akan pulang. Pulang ke rumah yang lebih baik dibandingkan rumah yang sekarang. Dia tahu, bahwa hanya dengan membagi rasa bahagianya dia bisa hidup dengan semangat. Dia tahu bahwa jika dia lebih dekat dengan seorang wanita akan ada yang menangisinya berhari-hari ketika dia pulang. Alasan rasa canggungnya, tidak peduli dengan pendidikannya, juga sikap baik hatinya akhirnya aku tahu. Pulang....
Namanya Anshar, dia tinggal di Surga Allah. Satu-satunya laki-laki yang pernah berkelahi denganku, dan berkelahi untukku. Satu-satunya laki-laki yang berhasil membuatku kagum di bangku SMA. Sosok yang begitu menyayangi ibunya, yang tidak pernah berkata tidak ketika aku memaksa. Bahkan gelang kesayangannya pun rela dia kasih karena aku merengek. Dia Anshar, yang setiap kali pulang selalu rindu untuk ku jenguk.
22 April 2014
"Rumah disana jauh lebih baik kan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar