Dan berhubung sudah hampir beberapa bulan tidak pernah lagi saya mengasah kemampuan menulisku, malam ini kembali ingin saya menulis sebuah cerita singkat. Sebuah fiksi yang saya coba jadikan non fiksi...
Hujan tak kunjung berhenti juga. Beberapa orang yang terlihat berjalan semua memegang payung, beberapa justru menggunakan tangan untuk menutupi kepalanya dari hujan. Aku kadang bertanya, apa yang membuat semua orang begitu takut terkena air hujan? Toh ini hanya air, tidak sampai membunuhmu. Kalau sakit mungkin hanya semalam, esok paginya akan ada senyum ceria lagi yang terlihat diwajah. Masih saja aku melihat orang-orang yang sedang berusaha melindungi dirinya dari hujan. Ketika mereka hendak menyebrang jalan, segera aku bangkit dan menawarkan jasa ojek payung, rutinitas baruku ketika pulang sekolah dan tidak mendapati ayahku juga adikku di rumah.
"Ojek payung bu?" Ucapku dengan wajah semangat. Si ibu hanya menggelengkan kepala petanda bahwa dia salah satu penyuka hujan sama sepertiku. Sama seperti almarhum ibuku yang meninggal setahun yang lalu. Kami orang miskin, sama seperti orang miskin lainnya. Ketika sakit uanglah yang berbicara, bukan nurani. Biaya rumah sakit ibu yang terlampau mahal membuatku ayahku tidak mampu membayarnya dan perlahan kami ikhlas melihat sakaratul maut ibu di rumah.
Ketika sakit dan hujan sedang turun, ibu selalu berkata "Dulu ibu jatuh cinta sama ayah kamu ketika hujan turun. Satu-satunya pria yang dengan baik hatinya menolong seorang nenek yang kecelakaan dengan becaknya. Ibu suka hujan, karena mengingatkan ibu tentang ayahmu." Sekarang, akupun demikian. Setiap kali hujan aku selalu mengingat ayahku, seorang pria sederhana yang berhati mulia. Ya, dia seorang tukang becak.
Setiap hari dia selalu mengantarku ke sekolah dengan becaknya, mengusahakan biaya sekolah dengan cara yang halal. Dia tidak meminta-minta apalagi pinjam sana-sini. Ayahku selalu percaya bahwa pertolongan Tuhan selalu ada ketika kami dalam kondisi yang sulit. Becak tua yang selalu menghadirkan banyak kejadian berharga di kehidupanku.
Aku kembali mencoba menawari satu per satu orang yang lewat di depanku. Jika hari ini aku tidak membawa pulang apa-apa aku akan sangat malu dengan ayahku yang setiap harinya membawa apa saja ketika pulang. Pernah dia membawa sepasang sepatu yang masih begitu bagus namun sudah di buang sama pemiliknya. Pernah juga dia membawakanku sebuah kemeja hitam yang dia dapat dari mengantar langganan becaknya. Bagi ayahku selama barang itu belum hancur dan masih bisa di gunakan dia akan menerima semuanya.
"Ehh Juki, ko dapat berapa hari ini?" Tegur seorang tukang parkir padaku yang duduk sambil menengadahkan tangan mencoba menampung air hujan.
"Alhamdulillah 20.000 bang. Bisa mi di pake makan sama ku tabung 10.000. Kalau abang?" Aku balik bertanya dengan senyum yang lebar. Bang Aco satu-satunya tukang parkir yang aku kenal di sini. Setiap hari dia selalu mengajakku untuk menghisap sebatang rokok tapi selalu ku tolak dengan candaan, "Saya minta mentahnya saja bang, ada?" Mungkin karena ini dia begitu suka berbincang denganku.
"Ambil mi ini 10.000, pake ko bayar sewa payungmu. Ingat ko, belajar baek-baek nah. Jangan ko kayak abangmu ini. Dulunya mau jadi polisi lalu lintas, ehh jadi tukang parkir ji."
"Tidak apa-apa ji ini bang? kita bagaimana?"
"Tidak ji, ko bawa saja. Pake belikan bapakmu sendal baru, kemarin ku liat ki putus mi sendalnya, dia sambung pake paku ji, bahaya itu."
Aku tertawa mendengar pengaduan Bang Aco, ayahku memang begitu orangnya, jika barangnya masih bisa di betulkan dia akan terus menggunakannya tanpa membuangnya. Itulah ayahku.
***
Hari ini adalah hari orang tua. Disekolahkku setiap sekali setahun diadakan hari orang tua. Orang tua datang dan mendengarkan cerita yang di tulis oleh anaknya sendiri. Aku sudah mempersiapkan sebuah cerita untuk ayahku, sebuah cerita yang ku tulis semalaman hanya untuk dia. Bahkan aku memilihkan dia pakaian yang lumayan bagus. Aku juga meminjam sepatu Pak Kadir, semua agar ayahku terlihat menarik. Tapi coba tebak apa yang ayahku katakan?
Dia berkata, "Kalau kamu malu ayah ke sekolah dengan sendal ini ayah tidak akan datang." Anak mana yang akan tega mendengar ayah kandungnya sendiri berkata demikian. Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Adikku malah menangis lebih keras dariku.
Dari jauh aku belum melihat ayahku tiba. Beberapa orang tua murid sudah ada yang datang. Ada yang menggunakan mobil, motor, dan semuanya menggunakan pakaian yang bagus. Oh iya, ketika ibuku masih hidup dia yang membiayai sekolahku, gaji ibuku lebih besar dibanding ayahku cukup untuk membayar uang SPP. Sementara penghasilan ayah, cukup untuk makan kami. Aku pernah membujuk ayah untuk memindahkanku tapi dia bersikeras aku harus menyelesaikan sekolahku disini, agar beasiswa mudah aku dapatkan.
Dari jauh ku lihat sebuah becak berjalan perlahan, becak tua yang didalamnya adikku duduk dengan begitu manis. Ayahku menggunakan kemeja putihnya yang tidak lagi terlihat putih, lengkap dengan handuk kecil di lehernya. Adikku si manis Puteri melambai dengan senyum lebarnya, aku lengsung berlari menghampiri mereka. Aku perlihatkan tempat parkir becak ayahku, tepat disamping sebuah mobil mewah. Aku bangga, karena becak yang ayah bawa dibeli dengan uang yang halal.
Ku perlihatkan dimana ayahku harus duduk juga Puteri. Beberapa bahkan memandang jijik ke ayahku dan ada beberapa orang tua yang menutup hidung mereka, ayahku memang baru pulang menarik becak wajar saja jika peluh terus menete dari tubuhnya. Giliran pertama adalah aku. Aku yang akan membacakan cerita yang aku buat untuk ayahku.
"Ayahku seorang tukang becak!" Ucapku dengan lantang sembari menatap wajah ayah yang masih kelelahan.
Namanya Muhammad Zainuddin biasa di panggil bang Udin sama langganannya. Dia seorang yang berhati mulia, pekerja keras, juga jujur. Ayahku tidak pernah mengeluh dihadapan kami, bahkan ketika malam hari kami hanya memakan dua bungkus mie instan tanpa nasi. Ayah selalu memperlihatkan wajah semangatnya ketika pulang kerja.
Ayahku seorang tukang becak. Dengan becaknya dia selalu mengantarkanku ke sekolah juga ke sekolah adikku. Dia terus bekerja hingga pukul 12 malam. Kadang di malam hari dia masih saja bekerja, mengumpulkan karton-karton bekas untuk di timbang. Aku tidak pernah menemui ayahku ketika pulang sekolah, karena dia sibuk. Sama seperti teman-temanku, ayahku selalu pulang ketika mataku telah terpejam.
Ayahku seorang tukang becak. Pernah sekali seseorang menghinaku karena pekerjaan ayahku, tapi aku tidak merasa terhina justru aku bangga ada seseorang yang memperhatikanku sedemikian rupa, memperhatikan ayahku dan menyorakiku agar aku bisa menjadi lebih dari ayahku. Karena ayahku pernah berkata, "Ketika orang-orang menghinamu jangan kamu dendam, jadikan motivasi untuk lebih dan lebih dari apa yang mereka hinakan ke kamu."
Ayahku seorang tukang becak. Dia orang yang begitu jujur, pernah sekali dia mendapat kelebihan pembayaran dari pelanggannya, dia kembalikan. Padahal si pelanggan sengaja membayar lebih. Aku belajar menjadi orang jujur darinya, dari seorang pria yang berhati mulia yang berhasil membuatku bangga menggunakan nama Zainuddin di belakang namaku. Dia yang bahkan ketika lelah mengayuh becaknya masih ingat untuk membawakanku hadiah dari tempat sampah.
Ayahku seorang tukang becak, aku tidak pernah malu melihat becaknya di parkir di sebelah mobil-mobil mewah. Karena kendaraan yang paling keren adalah becak ayahku, dia bisa ngebut juga bisa di hias sesuai selera. Aku juga tidak malu jika dia hanya menggunakan sendal ke sekolah karena aku sadar, sendal yang dia gunakan adalah bukti mati perjuangannya mengumpulkan uang dari becak. Tidak apa-apa jika orang mengatakan aku anak seorang tukang becak, karena aku bangga. Anak seorang tukang becak ini bernama Marzuki Zainuddin.
Ayah, aku bangga padamu.
Ku lihat ayahku menyeka air matanya. Baru kali ini ku lihat dia menangis, padahal karanganku begitu biasa. Aku tersenyum kecil melihat sendal jepit berwarna hijau yang dia gunakan. Sebuah sendal yang begitu berarti untuk ayah, sendal yang pada akhirnya aku tahu bahwa itu adalah pemberian terakhir ibuku di hari ulang tahunnya. Hanya sebuah sendal. [ ]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar