September 18, 2013

R A N D O M

Tidak perlu menunggu jatuh cinta untuk menulis. Tidak juga ketika terluka lantas menulis hal-hal yang begitu memilukan. Waktu yang tepat untuk menulis adalah ketika otak sedang dalam kondisi baiknya dan hati sedang bagus-bagusnya. Perpaduan logika yang sedang aktif-aktifnya dengan suasana hati yang baik adalah waktu yang sangat tepat untuk mulai menorehkan tinta hitam diatas lembaran putih.
Sama halnya kehidupan, dalam hidup akan ada dua warna sebagai penanda suatu kebaikan dan keburukan yang mungkin terjadi dalam hidup. Hitam untuk buruk dan putih selalu baik. Terkadang sedikit heran, kenapa dua warna ini yang menjadi penanda buruk atau baik? Kenapa kita tidak menggunakan warna merah untuk buruk dan Pink untuk baik? Selalu terdengar rumit jika tentang warna, sama seperti mu.
Tulisanku tidak pernah lagi menyebut namamu. Apa mungkin perasaan itu kini berganti dengan sebuah hal yang biasa saja. Tidak lagi seperti dulu. Kata orang, “Jika kekecewaan terlampau sering menghampiri dan dilakukan oleh orang kamu begitu sukai, lama kelamaan rasa itu akan hilang.” Pertanyaannya, apa memang pernah ada?
Hari-hari menyenangkan di bulan September terasa begitu cepat berlalu. Bintang-bintang yang tiap malam muncul dan mengingatkanku padamu akan segera berakhir. Begitu juga Putri Bulan yang menjadi penyambung rindu antara kita. Akan lama bertemu dengan benda langit yang begitu indah ini jika saja Hujan cepat menyapa. Namun ku harap hujan tidak begit cepat datang. Karena ada beberapa hal yang akan muncul dengan sendirinya jika hujan muncul secara tiba-tiba.
Dia yang disana yang terlampau sering kau sebut bukanlah aku. Ya, sebisa mungkin logika ini menyadarkan hati sebelum dia kembali hancur dan tidak lagi ingin di buka. Karena hanya logika yang selalu bisa membuat hati cukup kuat untuk hal-hal yang tidak bisa di pikirkannya. Mereka satu paket, kadang satu bertindak baik dan kadang mereka bertindak buruk. Karena Tuhan menciptakan manusia satu paket juga, baik dan buruk.
Apa lagi yang bisa ku tulis, tentangmu hanya membuatku menangis. Ada baiknya sih, biar mata kembali jernih. Karena air mata bukan hanya tanda tapi juga pembersih untuk mata. Rindu ini kembali membuat sesak, membuat malas terbangun dari sebuah mimpi yang timbul karena berkhayal. Dan lalu muncul sebuah pertanyaan baru, “Sampai kapan kamu mau jadi si Pengkhayal?”
Mimpi-mimpi itu masih sama. Dosen. Restoran. Penulis. Naik hajiin ibu sama bapak. Panti Asuhan. Sekolah Rakyat. Calon istri yang baik. Punya anak Hafidz/Hafidzha. Dan Tinggal dirumah yg sederhana namun begitu asri. Hanya saja mimpi itu kini bertambah satu. Meninggal dengan didoakan 40 org lebih. Tidak perlu seramai Alm. UJE cukup 40 org yang begitu menganggap saya berarti. Toh saya sangat jauh dari kebaikan almarhum, berharap akan meninggal seramai beliau rasanya tidak mungkin. Sudahlah, kematian hanya Allah yang tahu, saya hanya perlu persiapkan bekal menuju sana.

Besok pemilihan calon wakil walikota Makassar. Bahkan untuk memilih pemimpin pun saya masih ragu. Mereka terlalu pandai menyembunyikan diri di balik topeng politik. Sebuah janji yang pada ahirnya hanya menjadi janji. Let’s see.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar