Tidak
perlu menunggu jatuh cinta untuk menulis. Tidak juga ketika terluka lantas
menulis hal-hal yang begitu memilukan. Waktu yang tepat untuk menulis adalah
ketika otak sedang dalam kondisi baiknya dan hati sedang bagus-bagusnya. Perpaduan
logika yang sedang aktif-aktifnya dengan suasana hati yang baik adalah waktu
yang sangat tepat untuk mulai menorehkan tinta hitam diatas lembaran putih.
Sama
halnya kehidupan, dalam hidup akan ada dua warna sebagai penanda suatu kebaikan
dan keburukan yang mungkin terjadi dalam hidup. Hitam untuk buruk dan putih
selalu baik. Terkadang sedikit heran, kenapa dua warna ini yang menjadi penanda
buruk atau baik? Kenapa kita tidak menggunakan warna merah untuk buruk dan Pink
untuk baik? Selalu terdengar rumit jika tentang warna, sama seperti mu.
Tulisanku
tidak pernah lagi menyebut namamu. Apa mungkin perasaan itu kini berganti
dengan sebuah hal yang biasa saja. Tidak lagi seperti dulu. Kata orang, “Jika
kekecewaan terlampau sering menghampiri dan dilakukan oleh orang kamu begitu
sukai, lama kelamaan rasa itu akan hilang.” Pertanyaannya, apa memang pernah
ada?
Hari-hari
menyenangkan di bulan September terasa begitu cepat berlalu. Bintang-bintang
yang tiap malam muncul dan mengingatkanku padamu akan segera berakhir. Begitu
juga Putri Bulan yang menjadi penyambung rindu antara kita. Akan lama bertemu
dengan benda langit yang begitu indah ini jika saja Hujan cepat menyapa. Namun
ku harap hujan tidak begit cepat datang. Karena ada beberapa hal yang akan
muncul dengan sendirinya jika hujan muncul secara tiba-tiba.
Dia
yang disana yang terlampau sering kau sebut bukanlah aku. Ya, sebisa mungkin
logika ini menyadarkan hati sebelum dia kembali hancur dan tidak lagi ingin di
buka. Karena hanya logika yang selalu bisa membuat hati cukup kuat untuk
hal-hal yang tidak bisa di pikirkannya. Mereka satu paket, kadang satu
bertindak baik dan kadang mereka bertindak buruk. Karena Tuhan menciptakan
manusia satu paket juga, baik dan buruk.
Apa
lagi yang bisa ku tulis, tentangmu hanya membuatku menangis. Ada baiknya sih,
biar mata kembali jernih. Karena air mata bukan hanya tanda tapi juga pembersih
untuk mata. Rindu ini kembali membuat sesak, membuat malas terbangun dari
sebuah mimpi yang timbul karena berkhayal. Dan lalu muncul sebuah pertanyaan
baru, “Sampai kapan kamu mau jadi si Pengkhayal?”
Mimpi-mimpi
itu masih sama. Dosen. Restoran. Penulis. Naik hajiin ibu sama bapak. Panti
Asuhan. Sekolah Rakyat. Calon istri yang baik. Punya anak Hafidz/Hafidzha. Dan Tinggal
dirumah yg sederhana namun begitu asri. Hanya saja mimpi itu kini bertambah
satu. Meninggal dengan didoakan 40 org lebih. Tidak perlu seramai Alm. UJE
cukup 40 org yang begitu menganggap saya berarti. Toh saya sangat jauh dari
kebaikan almarhum, berharap akan meninggal seramai beliau rasanya tidak
mungkin. Sudahlah, kematian hanya Allah yang tahu, saya hanya perlu persiapkan
bekal menuju sana.
Besok
pemilihan calon wakil walikota Makassar. Bahkan untuk memilih pemimpin pun saya
masih ragu. Mereka terlalu pandai menyembunyikan diri di balik topeng politik.
Sebuah janji yang pada ahirnya hanya menjadi janji. Let’s see.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar