September 02, 2013

Cukup Kita

     Aku berdiri tepat dihadapannya. Ku tatap wajah penuh dendam dan kemarahan itu. Dia menatapku dengan sinis disana. Aku masih berusaha tersenyum padanya, berusaha ramah padanya. Namun, semakin aku tersenyum semakin dia ingin merobekku. Aku tahu apa yang telah ku perbuat cukup membuatnya muak, jengkel, dan marah.
            Dia masih berdiri disana. Seolah memberi tanda untuk mengobrol dengannya. Aku maju selangkah berusaha mendengarkan apa yang dia bilang namun tidak terdengar apa-apa sama sekali. Aku kembali maju selangkah, dan dia juga makin dekat padaku. Jarak kami hanya 30 CM.
            “Bodoh!” Ucapnya dengan nada marah.
            “Maaf jika selama ini aku bahkan tidak mempedulikan apa yang kamu inginkan.” Kataku menanggapi ucapan sinisnya.
“Tidak bisakah kamu peduli pada dirimu sendiri?” Katanya lagi kali ini dengan nada yang stabil.
“Bisa saja. Hanya belakangan ini aku malas. Bukankah kamu terlalu sering memperhatikanku selama ini?” Ku balas dengan senyum wajah itu.
“Bodoh!” Lagi-lagi makian dia keluarkan. “Lakukan sesuatu untuk dirimu bukan untuk orang lain lagi!”
“Maaf. Tapi aku senang dengan kondisi sekarang. Aku senang bisa melakukan apa yang telah lama ingin aku lakukan. Tidakkah kamu senang dengan perubahanku ini?”
“Bodoh!” Entah sudah kali ke berapa dia menyebutku dengan sebutan bodoh. “Aku tidak akan senang jika kamu seperti ini. Tidak pernahkah kamu memperhatikan aku? Menanyakan apa keinginanku? Bertanya apa yang aku mau?” Wajahnya terlihat sedih kini.
“Apa yang kamu inginkan?” Tanyaku yang membuatnya kembali mengangkat kepalanya.
“Aku ingin kamu lebih memperhatikan dirimu sendiri. Lihat apa yang teman-temanmu katakan tadi. Dari semua waktumu, kamu habiskan tanpa berfikir untuk kamu. Bisakah setidaknya kamu berhenti sejenak, lakukan apa yang aku inginkan.”
“....” Aku diam mendengarkan.
“Cari pria yang baik. Orang-orang menganggapmu aneh karena kamu tidak pernah dekat dengan seorang pria. Atau setidaknya ikutlah keinginan ibumu, menikah. Lalu kamu bisa melakukan semuanya lagi. Kamu tidak perlu mendengarkan ledekan teman-temanmu setiap harinya.”
“Ini masih masalah itu ternyata. Kamu tidak perlu khawatir, aku senang dengan keadaanku sekarang ini. Akan ada saatnya Tuhan memberikan orang yang tepat untukku, orang yang benar-benar mengerti ini aku bukan orang lain. Kamu tidak perlu khawatir akan ledekan mereka. Mereka hanya iri karena aku punya banyak waktu untuk ku bagi dengan anak-anak jalanan, sementara mereka sibuk memikirkan hal yang tidak begitu penting.”
“Kamu tahu, ada kalanya aku iri padamu. Kamu begitu kuat!” Kami akhirnya berdamai.
“Jangan mengatakan hal yang tidak begitu penting. Justru kamu yang membuatku kuat kan? Kamu yang membuatku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semuanya karenamu.” Aku tersenyum padanya. Kali ini dia menatapku lebih lama, seolah dia ingin memelukku dan berkata “Bodoh” untuk kesekian kalianya.
“Sabarlah sayang. Jika kamu merindukan seseorang cukup katakan pada-Nya. Jika kamu menginginkan seseorang kamu tinggal bilang pada-Nya. Bukankah, kita saja sudah lebih dari cukup.”
“Ya, kita saja sudah lebih dari cukup. Ingat untuk mengerjakan tesismu, ayahmu masih menunggu kamu menggunakan Toga untuk kedua kalinya.” Dia tersenyum penuh kedamaian.
Aku membalas senyuman itu, perlahan dia berbalik dan menghilang. Cermin itu ku tutup lalu mulai merapikan barang-barangku. Kami selalu bersama, dan itu lebih dari cukup. Bukankah, manusia yang baik itu adalah manusia yang menjadikan hatinya sebagai penasehatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar