Aku berdiri tepat dihadapannya. Ku tatap
wajah penuh dendam dan kemarahan itu. Dia menatapku dengan sinis disana. Aku
masih berusaha tersenyum padanya, berusaha ramah padanya. Namun, semakin aku
tersenyum semakin dia ingin merobekku. Aku tahu apa yang telah ku perbuat cukup
membuatnya muak, jengkel, dan marah.
Dia masih berdiri disana. Seolah
memberi tanda untuk mengobrol dengannya. Aku maju selangkah berusaha
mendengarkan apa yang dia bilang namun tidak terdengar apa-apa sama sekali. Aku
kembali maju selangkah, dan dia juga makin dekat padaku. Jarak kami hanya 30
CM.
“Bodoh!” Ucapnya dengan nada marah.
“Maaf jika selama ini aku bahkan
tidak mempedulikan apa yang kamu inginkan.” Kataku menanggapi ucapan sinisnya.
“Tidak bisakah kamu peduli pada dirimu sendiri?”
Katanya lagi kali ini dengan nada yang stabil.
“Bisa saja. Hanya belakangan ini aku malas. Bukankah
kamu terlalu sering memperhatikanku selama ini?” Ku balas dengan senyum wajah
itu.
“Bodoh!” Lagi-lagi makian dia keluarkan. “Lakukan
sesuatu untuk dirimu bukan untuk orang lain lagi!”
“Maaf. Tapi aku senang dengan kondisi sekarang. Aku
senang bisa melakukan apa yang telah lama ingin aku lakukan. Tidakkah kamu
senang dengan perubahanku ini?”
“Bodoh!” Entah sudah kali ke berapa dia menyebutku
dengan sebutan bodoh. “Aku tidak akan senang jika kamu seperti ini. Tidak
pernahkah kamu memperhatikan aku? Menanyakan apa keinginanku? Bertanya apa yang
aku mau?” Wajahnya terlihat sedih kini.
“Apa yang kamu inginkan?” Tanyaku yang membuatnya
kembali mengangkat kepalanya.
“Aku ingin kamu lebih memperhatikan dirimu sendiri.
Lihat apa yang teman-temanmu katakan tadi. Dari semua waktumu, kamu habiskan
tanpa berfikir untuk kamu. Bisakah setidaknya kamu berhenti sejenak, lakukan
apa yang aku inginkan.”
“....” Aku diam mendengarkan.
“Cari pria yang baik. Orang-orang menganggapmu aneh
karena kamu tidak pernah dekat dengan seorang pria. Atau setidaknya ikutlah
keinginan ibumu, menikah. Lalu kamu bisa melakukan semuanya lagi. Kamu tidak
perlu mendengarkan ledekan teman-temanmu setiap harinya.”
“Ini masih masalah itu ternyata. Kamu tidak perlu
khawatir, aku senang dengan keadaanku sekarang ini. Akan ada saatnya Tuhan
memberikan orang yang tepat untukku, orang yang benar-benar mengerti ini aku
bukan orang lain. Kamu tidak perlu khawatir akan ledekan mereka. Mereka hanya
iri karena aku punya banyak waktu untuk ku bagi dengan anak-anak jalanan,
sementara mereka sibuk memikirkan hal yang tidak begitu penting.”
“Kamu tahu, ada kalanya aku iri padamu. Kamu begitu
kuat!” Kami akhirnya berdamai.
“Jangan mengatakan hal yang tidak begitu penting.
Justru kamu yang membuatku kuat kan? Kamu yang membuatku merasa tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, semuanya karenamu.” Aku tersenyum padanya. Kali ini dia
menatapku lebih lama, seolah dia ingin memelukku dan berkata “Bodoh” untuk
kesekian kalianya.
“Sabarlah sayang. Jika kamu merindukan seseorang
cukup katakan pada-Nya. Jika kamu menginginkan seseorang kamu tinggal bilang
pada-Nya. Bukankah, kita saja sudah lebih dari cukup.”
“Ya, kita saja sudah lebih dari cukup. Ingat untuk
mengerjakan tesismu, ayahmu masih menunggu kamu menggunakan Toga untuk kedua
kalinya.” Dia tersenyum penuh kedamaian.
Aku membalas senyuman itu, perlahan dia berbalik dan
menghilang. Cermin itu ku tutup lalu mulai merapikan barang-barangku. Kami
selalu bersama, dan itu lebih dari cukup. Bukankah, manusia yang baik itu
adalah manusia yang menjadikan hatinya sebagai penasehatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar