13 April 2013,
Tulisan kali ini bukanlah seperti
Diary yang biasa saya tulis setiap malam disebuah buku yang saya sebut “Jingga”
atau sebuah Buku yang saya panggil “Rey”. Jangan heran, setiap malam saya
selalu menulis di dua buku yang berbeda, ‘Rey’ adalah teman lama saya yang
selalu tahu jelek dan buruknya saya. Sementara, ‘Jingga’ adalah musuh bebuyutan
saya yang selalu membuat saya ingin menghajarnya. Kenapa saya menulis tentang
Jingga? Karena dari Jingga selalu ada cerita yang bisa saya tulis.
Oke, untuk malam ini saya tidak akan
bercerita tentang bagaimana seseorang dari kamis lalu berhasil membuat saya
merasa Geli, tidak juga tentang Si Jendral yang sudah lama pergi dari Desa
Kesenangan dan meninggalkan beberapa pasukan ciliknya disana. Malam hari ini
dua nama yang akan menjadi isi dari kisah saya, ‘Senja dan Jingga’.
Sabtu, selalu
identik dengan sebuah hari special bagi sepasang kekasih. Mereka menamakannya ‘Malam
Minggu’ yang sebenarnya jauh lebih enak didengar ‘Sabtu Malam’. Saya tidak
punya kebiasaan keluar di sabtu malam kecuali ada hal yang benar-benar penting
yang harus saya kerjakan di luar sana.
Sore hari, tepat jam 5 langit
benar-benar sangat cantik sore itu. Biru, putih lalu sebuah warna yang selalu
muncul ketika matahari hampir terlelap. Dia sering menyebutnya ‘Jingga’. Senja
dan Jingga selalu bersama, mereka tidak bisa terpisahkan.
Sebuah rumah makan. Khas India
menurutku, lalu dibantah keras oleh adik saya dengan berkata, “Rumah makan
Arab, Rin!” Saya hanya tersenyum. Beberapa minggu ini memang saya sedikit
pelupa, sedikit bingung ketika ditanya ‘Kenapa suka sama Arsenal? Kenapa suka
sama Naruto? Kapan nikah? #ehh’ Pertanyaan terakhir mungkin sedikit berlebihan.
Ya, hal itu hanya ditanyakan jika bertemu sama beberapa teman yang sudah
menikah.
Mari kembali ke alur cerita.
Disela-sela kami makan, tiba-tiba saja dua anak kecil dengan dandanan kumuh
menghampiri kami. Satu berambut pendek dan satunya lagi berambut cepak. Yang
berambut pendek berumur 7 tahun, dan yang berambut cepak 5 Tahun. Sembari
membawa sebuah cangkir dan cerek yang besar mereka berkata lirih “Kak, minta
uangnya.” Wajah-wajah mereka yang lusuh dengan kulit yang hitam membuat saya
tersenyum sebentar, membayangakan bagaimana saya dulu tampak seperti mereka
saking senangnya bermain dengan matahari.
“Kalian mau makan?” Tanya saya pada
kedua anak itu. Si kecil berambut cepak menggigit jemarinya. Sesekali dia
tersenyum pada saya lalu mengalihkan pandangannya ke adik saya. Sementara si
besar berambut pendek dengan wajah memelas mengharap saya meletakkan selembar
uang disana agar dia bisa pergi sesegera mungkin.
“Kalian
mau makan gak?” Kali ini Adik saya yang berbicara. Suaranya memeng sedikit
keras, jauh nampak seperti seseorang yang sedang marah.
Saya
menunggu reaksi si Kecil berambut cepak, dia kembali tersenyum sembari
bergantian menatap kami. Dalam matanya saya tahu dia lapar, seolah bisa membaca
pikiran saya, anak kecil itu duduk disebelah adik saya seraya mengangguk lalu
kemudian berkata, “Kak dibungkus saja. Boleh?”
Spontan saya dan adik saya tertawa
bersamaan. Kami lalu mempersilahkan si kecil memilih menu makanan yang ingin
dia lahap. Diantara tiga menu yang kami santap sore itu si kecil berambut cepak
memilih menu yang pakai telur. Mungkin dipikirannya itu adalah dua buah telur
ceplok dengan kecap manis.
Sementara menunggu pesanan mereka,
saya mempersilahkan mereka menyantap hidangan yang ada di meja. Sesekali si
kecil berambut cepak menatap kami bergantian. Sementara si Rambut pendek
berjalan menuju ke meja lain berharap ada sedikit belas kasihan yang bisa dia
dapatkan. Begitu dia kembali ke meja, saya tahu tidak ada orang yang peduli
pada mereka sore itu. Mungkin beberapa orang berprinsip, “Jangan memberi uang
pada pengemis. Karena mereka akan terbiasa untuk meminta.” Jujur saja prinsip
ini memang benar, tapi siapa yang akan tega melihat dua anak kecil dengan bau
dan kulit yang menghitam berjalan seharian mengharap iba dari orang lain dan
tidak ada rasa kasihan yang menghampiri mereka.
“Nama kamu siapa?” tanya saya
sembari menatap si Rambut cepak.
“Risma
Kak.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kamu
perempuan dek?” Lanjut saya sedikit terkejut.
“Iya.
Hehehe...” Dia cengengesan.
“Kalau
kamu namanya siapa?” Gantian kali ini adik saya yang nanya.
“Ria
kak.”
“Kenapa
kalian minta-minta?” Adik saya kembali bertanya.
“Buat
bayar utang mama.” Kembali Risma yang aktif.
Ekonomi
selalu saja menjadi sebuah alasan orang tua untuk menyuruh ini dan itu pada
anak-anaknya. Bukan karena mereka mau sih tapi kondisi yang memaksa mereka.
Saya jadi teringat dengan Harnia, bagaimana ibunya membuangnya karena kembali
faktor ekonomi yang mengharuskan ibunya. Kami mempersilahkan mereka duduk
sembari kembali mempersilahkan mereka makan makanan yang ada di atas meja.
“Tidak
usah kak. Itu ada yang punya, nanti saya dimarahi.” Jawab Risma polos begitu
tawaran kali ke sepuluh keluar dari mulut saya dan adik saya.
“Tidak
akan ada yang marah kalau kamu memakan ini. Ini sudah saya beli dek, mau
dimakan sama siapa saja gak ada yang marah.” Ucapku.
“Lagian
kalau si mbak-mbak marah, nanti saya yang balik marah sama dia. Makan saja dek!”
Sambung adik saya.
Mereka
mungkin beberapa kali diusir, dimarahi jadi agak sedikit trauma ketika
ditawarkan dan disuruh duduk dengan meja yang sama dengan kami. Sesekali saya
dan adik saya menguji anak-anak itu dengan menanyakan beberapa soal matematika
penjumlahan dan pengurangan. Dan tebak, mereka menjawabnya dengan sangat
lancar. Terkecuali si Risma, anak usia 5 tahun seharusnya hanya tahu nyanyi dan
abjad ketika di tanya.
30
Menit kemudian pesanan mereka datang. Semangat untuk segera menyambar kantong plastik berbungkus makanan didalamnya begitu terlihat di wajah si Anak berambut
cepat. Sebelum pergi kami sempat memberi nasehat yang entah mereka dengar atau
tidak. Cukuplah hari ini ditutup dengan senyum bahagia mereka. Saya sebut
mereka Senja dan Jingga. Dua gadis kecil yang pintar yang datang menghampiri
kami, duduk sejenak membuat kami tersenyum lalu pergi dengan senyum diwajah
mereka. Sama seperti senja dan Jingga, mereka selalu datang dan membuat
beberapa penghuni daratan tersenyum, lalu pergi dengan sebuah tanya, “Kemana
lagi mereka akan bermuara?”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar