April 29, 2013

S E B A B "April Duka"


Rumah sederhana, bercat hijau dan putih, sebuah mobil putih yang terlihat baru. Seorang wanita berjilbab dan seorang pria dengan kemeja hitam, rambut dan jenggot yang telah memutih terlihat begitu sibuk dengan beberapa barang. Sementara si pemilik wajah teduh tampak mengikuti dari belakang. Fitri, nama gadis cantik itu, dia sedang memegang buku yang dari kemarin menarik perhatiannya.
Selama disini, dia tidur di kamar Arina. Setiap malam Fitri senang melihat isi kamar itu. Paper crane yang tergantung di langit-langit kamar, origami berbentuk kupu-kupu yang menempel di dinding kamar yang Arina lukis. Semua pemandangan itu membuatnya senang menghabiskan setiap malamnya di kamar Arina.

Hope
“Maafin anak tante ya Fit, sampai ngerepotin kamu begini.” Mama Arina membuka obrolan.
“Tidak apa-apa Bu, sekalian saya juga liburan.”
Kota yang tidak sama, penduduk yang berbeda. Beberapa orang berkata, Makassar kota dengan penduduk yang kasar. Dan Bandung, kota dengan penduduk yang ramah. Dua kota yang berbeda, dua wanita yang berbeda. Fitri dan Arina, dua wanita yang pernah menyukai satu pria yang sama.
Pemandangan kini berubah, orang-orang berbaju putih rapi, bau yang khas, dan kesibukan yang luar biasa yang membuat Fitri agak sedikit canggung. Dia masih mengikuti langkah ayah dan ibu Arina, hingga mereka berhenti didepan sebuah kamar bertuliskan Mawar 1B : Arina Astari Wijaya.
Selang infus, juga selang untuk bantuan pernafasan terpasang di hidung Arina. Elektrokardiograf yang menempel di tubuh Arina yang selama ini menjadi tanda jika nafas masih ada di dirinya. Fitri agak sedikit terkejut, dia tidak pernah membayangkan kondisi Arina begitu parah. Sambil duduk, dia menatap tubuh yang terbaring di depannya. Jilbab coklat dan pakaian rumah sakit menjadi kostum Arina. Si wajah teduh tiba-tiba menangis, entah kenapa detik itu dia luluh dan hanya rasa iba yang dia rasakan.
“Jangan menangis nak. Arin anak yang kuat, dia akan segera sembuh, bangun dari tidurnya yang panjang.”  mama Arina yang tampak menahan tangis.
“Teh Arina sakit apa Bu?”
“Kanker Tulang.”
Ada jeda yang panjang setelah obrolan itu. Ayah Arina diam tanpa kata, matanya terus menatap Arina berharap bahwa hari ini anaknya akan segera bangun setelah beberapa hari dia tertidur dengan sangat pulas. Ada rasa sesak yang menyelimuti keluarga itu. Si wajah teduh kembali melihat buku sketsa milik Arina, dibagian belakang tepat di belakang sketsa wajahnya ada sebuah surat yang di tulis Arina.

Kepada Penguasa Langit…
Dengan segala rasa syukurku…
Perkenalkan, nama saya Arina Astari Wijaya. Orang-orang memanggil saya Arina, Arin, Rina, kadang juga beberapa teman saya menyebut saya dengan panggilan “Pak Wijaya”. Saya sudah bekerja selama setahun disebuah perusahaan tapi kemudian berhenti. Saya memang ingin berhenti kerja begitu kuliah saya selesai tapi takdir-Mu berkata lain.
Saya berhenti tepat sebulan saya tahu bahwa KAMU begitu saying sama saya. Saking sayangnya KAMU tidak mengizinkan saya untuk mewujudkan semua impian saya. Mungkin menurut-Mu saya akan menjadi sombong jika semua cita-cita saya terwujud. Tapi tahukah KAMU, saya begitu kecewa pada-Mu saat ini. Jika benar KAMU begitu saying pada saya, setidaknya biarkan saya meraih satu impian saya saja. Panti Asuhan, cukup itu Tuhan. Dan jika boleh saya meminta, bolehkah saya mendapatkan tubuh saya kembali? Sekiranya 360 hari saja, hanya untuk sekedar berbagi tawa dengan mereka…
Tulisan itu berhenti disana, air mata Fitri menetes setelah membaca surat singkat itu. Ada banyak rencana yang telah disusun Arina, namun kenyataan selalu berkata lain. Sore itu hujan ikut turun, seolah Penguasa Langit ikut menangis begitu mendengar surat Arina di baca oleh Fitri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar