Rumah sederhana,
bercat hijau dan putih, sebuah mobil putih yang terlihat baru. Seorang wanita
berjilbab dan seorang pria dengan kemeja hitam, rambut dan jenggot yang telah
memutih terlihat begitu sibuk dengan beberapa barang. Sementara si pemilik
wajah teduh tampak mengikuti dari belakang. Fitri, nama gadis cantik itu, dia
sedang memegang buku yang dari kemarin menarik perhatiannya.
Selama disini, dia tidur di kamar
Arina. Setiap malam Fitri senang melihat isi kamar itu. Paper crane yang tergantung di langit-langit kamar, origami
berbentuk kupu-kupu yang menempel di dinding kamar yang Arina lukis. Semua
pemandangan itu membuatnya senang menghabiskan setiap malamnya di kamar Arina.
Hope |
“Maafin anak tante ya Fit, sampai
ngerepotin kamu begini.” Mama Arina membuka obrolan.
“Tidak apa-apa Bu, sekalian saya
juga liburan.”
Kota yang tidak sama, penduduk yang
berbeda. Beberapa orang berkata, Makassar kota dengan penduduk yang kasar. Dan
Bandung, kota dengan penduduk yang ramah. Dua kota yang berbeda, dua wanita
yang berbeda. Fitri dan Arina, dua wanita yang pernah menyukai satu pria yang
sama.
Pemandangan kini berubah,
orang-orang berbaju putih rapi, bau yang khas, dan kesibukan yang luar biasa
yang membuat Fitri agak sedikit canggung. Dia masih mengikuti langkah ayah dan
ibu Arina, hingga mereka berhenti didepan sebuah kamar bertuliskan Mawar 1B :
Arina Astari Wijaya.
Selang infus, juga selang untuk
bantuan pernafasan terpasang di hidung Arina. Elektrokardiograf yang menempel di tubuh
Arina yang selama ini menjadi tanda jika nafas masih ada di dirinya. Fitri agak
sedikit terkejut, dia tidak pernah membayangkan kondisi Arina begitu parah.
Sambil duduk, dia menatap tubuh yang terbaring di depannya. Jilbab coklat dan
pakaian rumah sakit menjadi kostum Arina. Si wajah teduh tiba-tiba menangis,
entah kenapa detik itu dia luluh dan hanya rasa iba yang dia rasakan.
“Jangan
menangis nak. Arin anak yang kuat, dia akan segera sembuh, bangun dari tidurnya
yang panjang.” mama Arina yang tampak
menahan tangis.
“Teh
Arina sakit apa Bu?”
“Kanker Tulang.”
Ada jeda yang panjang setelah obrolan itu. Ayah
Arina diam tanpa kata, matanya terus menatap Arina berharap bahwa hari ini
anaknya akan segera bangun setelah beberapa hari dia tertidur dengan sangat
pulas. Ada rasa sesak yang menyelimuti keluarga itu. Si wajah teduh kembali
melihat buku sketsa milik Arina, dibagian belakang tepat di belakang sketsa
wajahnya ada sebuah surat yang di tulis Arina.
Kepada Penguasa
Langit…
Dengan segala rasa
syukurku…
Perkenalkan, nama
saya Arina Astari Wijaya. Orang-orang memanggil saya Arina, Arin, Rina, kadang
juga beberapa teman saya menyebut saya dengan panggilan “Pak Wijaya”. Saya
sudah bekerja selama setahun disebuah perusahaan tapi kemudian berhenti. Saya
memang ingin berhenti kerja begitu kuliah saya selesai tapi takdir-Mu berkata
lain.
Saya berhenti tepat sebulan saya tahu
bahwa KAMU begitu saying sama saya. Saking sayangnya KAMU tidak mengizinkan
saya untuk mewujudkan semua impian saya. Mungkin menurut-Mu saya akan menjadi
sombong jika semua cita-cita saya terwujud. Tapi tahukah KAMU, saya begitu kecewa
pada-Mu saat ini. Jika benar KAMU begitu saying pada saya, setidaknya biarkan
saya meraih satu impian saya saja. Panti Asuhan, cukup itu Tuhan. Dan jika
boleh saya meminta, bolehkah saya mendapatkan tubuh saya kembali? Sekiranya 360
hari saja, hanya untuk sekedar berbagi tawa dengan mereka…
Tulisan itu
berhenti disana, air mata Fitri menetes setelah membaca surat singkat itu. Ada
banyak rencana yang telah disusun Arina, namun kenyataan selalu berkata lain.
Sore itu hujan ikut turun, seolah Penguasa Langit ikut menangis begitu
mendengar surat Arina di baca oleh Fitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar