“Luka
itu membuatku tidak lagi ingin merasakan hal yang menyenangkan. Aku hanya ingin
merasakan jatuh cinta pada Allah dan Rasul-Nya, tidak lagi dengan yang tidak
halal bagiku. Jadi berhentilah bergentayangan di kepalaku si asing di twitter.”
Diatas hanya pengantar kecil dari
sisi lain yang sedang ingin berlebay ria di dunia maya. Malam ini gue lagi
pengen nulis serius, bukan kisah konyol gue yang ke kantor dengan sepatu yang
berbeda. Atau kisah konyol gue yang selalu bertanya alamat sebelum mengunjungi
suatu tempat yang tidak pernah gue kunjungi sebelumnya. Ya, maklum saja gue
termasuk anak rumahan yang hanya tahu jalan pulang ke rumah, ke kampus, ke mall
(Gramedia doang), juga ke kantor. Silahkan tertawa jika ingin, semua yang
mendengar ceritaku ketika nyasar sewaktu pergi ke pantai losari juga tertawa
terbahak. Lagipula gue bangga dengan diri gue yang gak tahu apa-apa selain
buku.
Anyway, sebenarnya gak ada rencana
buat nulis malam ini hanya saja beberapa postingan seorang teman membuatku
sedikit ingin bercerita. Mungkin dengan gaya yang berbeda dimana kata ganti
orang pertama gue ganti menjadi aku atau saya. Sekedar mengasah kemampuan untuk
naskah yang akan gue kirimkan selanjutnya. Dan lagi gue suka baca tulisan dari
seorang teman ini, isinya ringan namun bermakna. Cara dia bercerita juga bagus,
walau terkadang ada bagian yang sedikit membosankan namun entah kenapa gue
tetap tertarik untuk membaca tulisannya hingga selesai. Semoga tidak lagi gue
jatuh cinta pada orang yang telah memiliki pasangan (Demi Tuhan, jangan sampai
ya Allah).
Aku pernah
menemuinya di jalan Rappocini, aku juga bertemu dengannya di dekat jalan Monginsidi.
Bahkan tadi ketika pulang kerja lagi-lagi aku bertemu dengannya di jalanan
dekat kantorku. Oh iya hampir lupa aku juga pernah bertemu dengannya di dekat
lampu merah. Jalannya sangat perlahan, dia memperkirakan hambatan di hadapannya
dengan sebuah tongkat yang ku pikir terbuat dari rotan atau hanya kayu biasa.
Di punggungnya dia menggantung sebuah alat musik yang tampak seperti kecapi
dengan buatan kasar seorang pengrajin.
Aku yakin lelaki tua yang mungkin
berumur 70 atau 80 tahun itu adalah seorang pemusik jalanan. Kenapa aku bisa
tahu? Karena sekali aku pernah mendapatinya sedang memainkan alat yang di bawa
kemanapun dia berada. Dan sungguh alunan musik yang keluar dari alat musik yang
dia mainkan begitu merdu dan menenangkan.
Pernah sekali aku ingin
menghampirinya, membantunya menyebrang jalan atau membantunya menepi dari jalan
raya. Namun ku urungkan niatku, mengingat seorang teman yang juga pernah
bertemu dengan pria tua itu mengatakan “Kakek itu akan sangat marah kalau ada
yang membantunya berjalan atau menggandeng tangannya.” Ya ku biarkan saja dia
hari itu berjalan perlahan hingga dia berjalan di tepi jalan. Dari belakang aku
hanya mengawasi sambil sesekali berdoa semoga Allah melindunginya hingga tiba
di rumah.
Aku juga pernah melihat seseorang
menegurnya namun si kakek dengan cuek tetap berjalan seolah jalanan ini memang
miliknya sejak lahir. Suatu hari dia berjalan tepat di samping motorku, aku
menatapnya dalam-dalam. Dia menggunakan tongkat karena penglihatannya tidak
lagi sesempurna dulu, dan aku yakin dia tidak mendengar teguran orang lain itu
karena telinganya juga tidak lagi sesempurna dulu. Ingin rasanya mengajaknya
duduk sebentar seraya mengobrol tentang kehidupan, mungkin jika aku bertanya
tentang hidup pada kakek itu akan ada banyak pengalaman hidup yang ku dapatkan.
Namun jika aku menyentuhnya maka mungkin dia akan marah padaku.
Ahhh, hari ini ku biarkan saja dia
berlalu tanpa melakukan apapun. Toh di lain kesempatan aku masih memiliki
banyak waktu untuk bertemu lagi dengannya. Hari itu aku pulang dengan
pertanyaan baru, “si kakek tadi tidak lagi mampu melihat dengan baik lalu
bagaimana dia mengarahkan kakinya hingga tiba di rumah?”
Esoknya aku kembali melihatnya, dia
berjalan tetap di pinggir jalan dengan tongkat, topi dan pakaian yang sama. Aku
tidak tahu dimana rumah si kakek itu, namun yang ku lihat dari sosoknya adalah
semangat untuk bertahan hidup, bahkan ketika perlahan-lahan Tuhan mulai
mengambil kembali apa yang DIA pinjamkan ke kita.
Bagaimana orang buta mampu
mengemudi? Yah, pertanyaan itu kembali terlontar di benakku. Adalah Allah yang
membantunya melihat dengan mata hatinya, Allah yang membantunya dan menjaganya
dari marabahaya. Allah yang mengarahkannya hingga kakinya kembali menginjak
rumahnya. Ya, semua karena kuasa Ilahi.
Aku pun sama dengan si kakek itu,
ketika malam tiba aku tidak mampu lagi melihat dengan jelas. Yang tampak di
mataku ketika malam hanya lampu-lampu yang bersinar terang bak bintang yang
menyinari langit di malam hari. Aku juga tak jarang pulang kerja malam hari dan
ini mengharuskanku untuk mengemudi dalam kondisi yang tidak baik. Pernah sekali
aku hampir menabrak seekor sapi di BTP saking tidak adanya penerangan di
jalanan. Lalu aku juga pernah hampir menabrak seseorang yang hendak menyebrang
jalan karena aku tidak melihatnya. Dan parahnya aku pernah menabrak pembatas
jalan, untung saja aku mampu menahan diriku agar tidak jatuh dari motor.
Lalu bagaimana kami yang tidak mampu
melihat dapat pulang dengan selamat? Kalau aku, aku menjadikan lampu-lampu yang
di kendaraan sebagai penunjuk jalannku untuk tiba di rumah. Jika untuk si kakek
yang terlampau sering ku temui mungkin dia melihat dari tongkatnya, jika
tongkatnya tidak bergerak ketika dia gerakkan itu artinya ada yang menghalangi
jalannya. Ya, itulah kuasa Tuhan Dia selalu memberikan pertolongan dengan
petunjuk-petunjuk kecil dimanapun kita berada.
Yang ingin gue sampaikan disini
hanya sebuah semangat dari si kakek untuk menemukan kembali jalan pulang menuju
rumahnya untuk bertemu dengan keluarga terkasih. Semangat untuk terus bertahan
hidup bahkan ketika di umurnya yang sekarang dia seharusnya hanya duduk santai
di rumah menikmati sisa kehidupan yang mungkin tidak lama lagi. Namun nyatanya
lagi-lagi uang yang menentukan segalanya.
Untukmu
si kakek hebat yang selalu menginspirasiku. Mungkin di dunia ini kamu tidak
memiliki apa-apa namun di sana di rumah Allah, Dia telah mempersiapkan semuanya
untukmu. Ya, makanan dan juga rumah mewah yang selama ini menjadi tujuan
langkah kakimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar