Juli 17, 2012

BELAJAR DARI KAKEK TUA



         “Luka itu membuatku tidak lagi ingin merasakan hal yang menyenangkan. Aku hanya ingin merasakan jatuh cinta pada Allah dan Rasul-Nya, tidak lagi dengan yang tidak halal bagiku. Jadi berhentilah bergentayangan di kepalaku si asing di twitter.
            Diatas hanya pengantar kecil dari sisi lain yang sedang ingin berlebay ria di dunia maya. Malam ini gue lagi pengen nulis serius, bukan kisah konyol gue yang ke kantor dengan sepatu yang berbeda. Atau kisah konyol gue yang selalu bertanya alamat sebelum mengunjungi suatu tempat yang tidak pernah gue kunjungi sebelumnya. Ya, maklum saja gue termasuk anak rumahan yang hanya tahu jalan pulang ke rumah, ke kampus, ke mall (Gramedia doang), juga ke kantor. Silahkan tertawa jika ingin, semua yang mendengar ceritaku ketika nyasar sewaktu pergi ke pantai losari juga tertawa terbahak. Lagipula gue bangga dengan diri gue yang gak tahu apa-apa selain buku.
            Anyway, sebenarnya gak ada rencana buat nulis malam ini hanya saja beberapa postingan seorang teman membuatku sedikit ingin bercerita. Mungkin dengan gaya yang berbeda dimana kata ganti orang pertama gue ganti menjadi aku atau saya. Sekedar mengasah kemampuan untuk naskah yang akan gue kirimkan selanjutnya. Dan lagi gue suka baca tulisan dari seorang teman ini, isinya ringan namun bermakna. Cara dia bercerita juga bagus, walau terkadang ada bagian yang sedikit membosankan namun entah kenapa gue tetap tertarik untuk membaca tulisannya hingga selesai. Semoga tidak lagi gue jatuh cinta pada orang yang telah memiliki pasangan (Demi Tuhan, jangan sampai ya Allah).

Aku pernah menemuinya di jalan Rappocini, aku juga bertemu dengannya di dekat jalan Monginsidi. Bahkan tadi ketika pulang kerja lagi-lagi aku bertemu dengannya di jalanan dekat kantorku. Oh iya hampir lupa aku juga pernah bertemu dengannya di dekat lampu merah. Jalannya sangat perlahan, dia memperkirakan hambatan di hadapannya dengan sebuah tongkat yang ku pikir terbuat dari rotan atau hanya kayu biasa. Di punggungnya dia menggantung sebuah alat musik yang tampak seperti kecapi dengan buatan kasar seorang pengrajin.
            Aku yakin lelaki tua yang mungkin berumur 70 atau 80 tahun itu adalah seorang pemusik jalanan. Kenapa aku bisa tahu? Karena sekali aku pernah mendapatinya sedang memainkan alat yang di bawa kemanapun dia berada. Dan sungguh alunan musik yang keluar dari alat musik yang dia mainkan begitu merdu dan menenangkan.
            Pernah sekali aku ingin menghampirinya, membantunya menyebrang jalan atau membantunya menepi dari jalan raya. Namun ku urungkan niatku, mengingat seorang teman yang juga pernah bertemu dengan pria tua itu mengatakan “Kakek itu akan sangat marah kalau ada yang membantunya berjalan atau menggandeng tangannya.” Ya ku biarkan saja dia hari itu berjalan perlahan hingga dia berjalan di tepi jalan. Dari belakang aku hanya mengawasi sambil sesekali berdoa semoga Allah melindunginya hingga tiba di rumah.
            Aku juga pernah melihat seseorang menegurnya namun si kakek dengan cuek tetap berjalan seolah jalanan ini memang miliknya sejak lahir. Suatu hari dia berjalan tepat di samping motorku, aku menatapnya dalam-dalam. Dia menggunakan tongkat karena penglihatannya tidak lagi sesempurna dulu, dan aku yakin dia tidak mendengar teguran orang lain itu karena telinganya juga tidak lagi sesempurna dulu. Ingin rasanya mengajaknya duduk sebentar seraya mengobrol tentang kehidupan, mungkin jika aku bertanya tentang hidup pada kakek itu akan ada banyak pengalaman hidup yang ku dapatkan. Namun jika aku menyentuhnya maka mungkin dia akan marah padaku.
            Ahhh, hari ini ku biarkan saja dia berlalu tanpa melakukan apapun. Toh di lain kesempatan aku masih memiliki banyak waktu untuk bertemu lagi dengannya. Hari itu aku pulang dengan pertanyaan baru, “si kakek tadi tidak lagi mampu melihat dengan baik lalu bagaimana dia mengarahkan kakinya hingga tiba di rumah?”
            Esoknya aku kembali melihatnya, dia berjalan tetap di pinggir jalan dengan tongkat, topi dan pakaian yang sama. Aku tidak tahu dimana rumah si kakek itu, namun yang ku lihat dari sosoknya adalah semangat untuk bertahan hidup, bahkan ketika perlahan-lahan Tuhan mulai mengambil kembali apa yang DIA pinjamkan ke kita.
            Bagaimana orang buta mampu mengemudi? Yah, pertanyaan itu kembali terlontar di benakku. Adalah Allah yang membantunya melihat dengan mata hatinya, Allah yang membantunya dan menjaganya dari marabahaya. Allah yang mengarahkannya hingga kakinya kembali menginjak rumahnya. Ya, semua karena kuasa Ilahi.
            Aku pun sama dengan si kakek itu, ketika malam tiba aku tidak mampu lagi melihat dengan jelas. Yang tampak di mataku ketika malam hanya lampu-lampu yang bersinar terang bak bintang yang menyinari langit di malam hari. Aku juga tak jarang pulang kerja malam hari dan ini mengharuskanku untuk mengemudi dalam kondisi yang tidak baik. Pernah sekali aku hampir menabrak seekor sapi di BTP saking tidak adanya penerangan di jalanan. Lalu aku juga pernah hampir menabrak seseorang yang hendak menyebrang jalan karena aku tidak melihatnya. Dan parahnya aku pernah menabrak pembatas jalan, untung saja aku mampu menahan diriku agar tidak jatuh dari motor.
            Lalu bagaimana kami yang tidak mampu melihat dapat pulang dengan selamat? Kalau aku, aku menjadikan lampu-lampu yang di kendaraan sebagai penunjuk jalannku untuk tiba di rumah. Jika untuk si kakek yang terlampau sering ku temui mungkin dia melihat dari tongkatnya, jika tongkatnya tidak bergerak ketika dia gerakkan itu artinya ada yang menghalangi jalannya. Ya, itulah kuasa Tuhan Dia selalu memberikan pertolongan dengan petunjuk-petunjuk kecil dimanapun kita berada.
            Yang ingin gue sampaikan disini hanya sebuah semangat dari si kakek untuk menemukan kembali jalan pulang menuju rumahnya untuk bertemu dengan keluarga terkasih. Semangat untuk terus bertahan hidup bahkan ketika di umurnya yang sekarang dia seharusnya hanya duduk santai di rumah menikmati sisa kehidupan yang mungkin tidak lama lagi. Namun nyatanya lagi-lagi uang yang menentukan segalanya.
            Untukmu si kakek hebat yang selalu menginspirasiku. Mungkin di dunia ini kamu tidak memiliki apa-apa namun di sana di rumah Allah, Dia telah mempersiapkan semuanya untukmu. Ya, makanan dan juga rumah mewah yang selama ini menjadi tujuan langkah kakimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar