Namanya Muhammad Aris, biasa
dipanggil Gatot oleh kerabatnya. Tubuh tinggi dan tegap dengan paras yang
serius membuat dia segani oleh beberapa orang termasuk kerabatnya. Perawakan
keras, bertanggung jawab dan disiplin menjadikan dia sosok inspirasi bagi
anak-anaknya. Yeah, dia Ayahku! Ayah terbaik yang Allah berikan kepadaku. Gue
gak tahu apa jadinya gue tanpa didikan dari Ayah.
Ayahku memang sangat disiplin, dia
sangat menghargai waktu. Baginya melewatkan satu hari duduk santai tanpa
melakukan apa-apa yang bisa menghasilkan adalah sia-sia. Ayah tipe orang yang
pekerja keras, mungkin dia seperti itu ketika Kakek alias Ayahnya Ayah
meninggal dunia. Gue masih ingat ketika Mama bercerita ke gue, cerita ketika
Ayah masih muda, ketika Ayah masih nakal-nakalnya, dan ketika satu peristiwa
yang membuat Ayah trauma dan menyesal.
Kata Mama :
“Ayah kamu itu dulu ketika masih
mudah bandelnya minta ampun. Gak mau mendengar kata om-nya. Ketika dinasehatin,
dia akan pura-pura mendengar padahal gak dengar. Seringkali dulu saudara kakek
kamu mengingatkan Ayah kamu supaya gak bandel. Nyuruh dia bertindak seperti Om
Bur kamu, tapi Ayah kamu malah gak pernah nurut. Mungkin Ayah kamu dulu masih
shock ketika kehilangan kakek kamu. Soalnya Ayah kamu sangat dekat dengan kakek
kamu.”
Gue
memotong perkataan mama seraya bertanya “Emangnya kakek meninggal gara-gara apa
ma?”.
Mama kembali melanjutkan ceritanya,
“Gak ada yang tahu kakek kamu meninggal karena apa. Dia sehat, sangat sehat.
Dia jarang sakit. Kata Ayah kamu, kakek kamu meninggal di malam takbiran. Tepat
ketika Ayah kamu pulang dari konvoi takbiran dengan teman-temannya. Sejak saat
itu sifat Ayah kamu berubah. Dulunya dia penurut, dibilangin jangan begini dia
pasti nurut. Tapi kondisinya berbeda ketika Kakek kamu meninggalkan Ayahmu.”
Gue
merhatiin wajah Mama dengan seksama, ada sedikit rasa sedih ketika ia berusaha
untuk menceritakan ini. Gue terus memperhatikan Mama, berusaha menangkap
isyarat-isayarat wajahnya.
“Ketika
Kakek kamu meninggal Ayah kamu ikut dengan saudara Kakek kamu ke makassar.
Segala biaya untuk sekolah Ayah kamu dan adiknya Eyang kamu yang berikan. Mulai
dari vasilitas sekolah hingga vasilitas buat kesekolah.” Mama tersenyum
sebentar ke gue.
“Lalu
dimana letak kebandelan Ayah, Ma?” gue memperbaiki posisi duduk gue.
Mama
tersenyum sebentar lalu kembali melanjutkan ceritanya, “Dulu ketika mendekati
UAS, Ayah kamu dan beberapa temannya melakukan aksi track-trackan alias saling
menabrakin motor. Kalau dipikir lagi waktu itu Ayah kamu mungkin sudah gila,
masa iya ada orang bodoh yang mau ngelukain dirinya sendiri.” Mama tertawa
renyah. “waktu itu Ayah kamu melakukan aksi gila itu, hasilnya kakinya patah dan
harus di rawat di rumah sakit. Dan bodohnya lagi, ketika kaki Ayahmu mau
dioperasi saking parahnya dia malah kabur dengan teman-temannya. Eyang kamu
sempat marah besar, bahkan sempat hampir tidak peduli lagi dengan Ayah kamu.
Dan gara-gara kebodohannya ini Ayah kamu kadang berfikir ‘kenapa dulu saya
mesti kabur ya?’, Ayah kamu memang susah ditebak.”
Gue
bakalan tertawa ngakak ketika mengingat cerita Mama ini. Sungguh diluar pikiran
gue, cuma orang bodoh yang mau menabrakan dirinya hanya untuk di katain “hebat”
oleh teman-temannya. Pantesan kaki Ayah gue gede sebelah dan kalau berjalan dia
sedikit pincang, ternyata sebabnya karena Ayah gak mau dioperasi dulu. Yeah,
setiap orang punya cerita kenakalan masing-masing yang nantinya bakalan jadi
cerita indah untuk di bagi ke anak – cucu masing-masing.
♫♫♫
Lalu dimana letak gelar “Ayah
Terbaik” untuk Ayah gue? Nah, ini yang paling gue suka dari Ayah gue. Dia
sangat disiplin dalam mendidik kami semua. Banyak pelajaran yang kami dapat
dari caranya mendidik kami. Gue juga suka sifat Ayah yang sangat bertanggung
jawab terhadap keluarganya.
Dulu ketika kondisi kami masih
sangat minim dalam hal financial, Ayah akan melakukan apa saja untuk
mendapatkan nafkah. Gue kembali teringat ketika Mama bercerita tentang kerja
keras Ayah, dari gak punya rumah hingga mampu membangun rumah sendiri.
Kata Mama :
“Dulu kondisi kita sangat buruk kan ? Kamu pasti masih ingat,
rumah tua yang kita tinggali dulu, rumah yang dimana jika ingin mandi harus
menimba air disumur dulu. Rumah yang dimana tiap kali hujan turun, akan terdengar
setitik air jatuh ke lantai kayu. Rumah yang kecil yang hanya memiliki dua
tempat tidur. Waktu itu Ayah kamu udah sadar, dia tahu bahwa sekarang dia gak
lagi sendiri, dia punya keluarga yang harus diberi makan. Memang ketika itu,
ayah kamu belum punya kerjaan tetap. Dia hanya menjual sarung dari satu daerah
ke daerah lain. Ketika matahari belum menampakkan sinarnya, Ayah kamu sudah
bersiap dengan semangat 45 untuk menjual beberapa lembar sarung. Dari hasil
jualan sarung itu Ayah membiayai sekolah kakak kamu Ita. Dari hasil jual sarung
itu Ayah memberi makan kita.”
“Berapa
gaji ayah waktu itu Ma?” gue memotong sedikit cerita mama.
Mama
tersenyum sebentar, “Gak tentu sayang. Kadang Ayah kamu dapat lebih kadang juga
tidak. Yang jelasnya setiap hari Ayah selalu pulang dengan membawa uang untuk
Mama. Ayah kamu baru berhenti berjualan sarung ketika Eyang kamu telah berhasil
memperkerjakannya sebagai dosen disalah satu universitas. Sejak itu kondisi
kita sedikit membaik, tapi gak sepenuhnya baik. Ayah kamu mulai mengumpulkan
uang dengan pikiran untuk membangun rumah yang layak untuk kita tinggali. Dan
hasilnya, inilah rumah kita. Rumah hasil jerih payah Ayah kamu.”
Jujur,
gue selalu nangis ketika mengingat kisah hidup Ayah gue yang sangat keras. Dia
mulai dengan berjualan sarung, lalu bekerja menjadi dosen. Gue juga masih ingat
kendaraan pertama yang dia beli, sebuah sepeda motor yang bunyi klaksonnya gak
seperti bunyi klakson motor pada umumnya.
Ayah gue bukan tipe orang yang
senang membuang-buang waktu yang menurutnya sangat berharga. Ketika rumah kami
selesai dibangun dan Mama hamil lagi, Ayah tahu kalau pekerjaan menjadi dosen
gak akan mampu mencukupi kebutuhan keluarganya yang makin besar.
Maka Ayah mulai berbisnis angkot.
Ayah membeli 3 angkot, mencarikannya supir lalu memberi target pendapatan untuk
masing-masing supir. Terkadang ketika salah satu supir Ayah gak masuk kerja dan
Ayah tidak sedang ada jadwal mengajar, Ayah yang akan membawa angkot itu untuk
mencari penumpang. Masih jelas dimemori otak gue, ketika Ayah hendak pamit buat
kerja, gue bakalan dengan senangnya merengek-rengek ikut Ayah narik angkot.
Gue pernah nangis sekali, ketika
kakak gue sempat malu waktu Ayah menjadi supir angkot. Gue pengen marah tapi
gue belum tahu marah itu kayak gimana, yang gue tahu waktu itu Ayah sedih,
bukan karena kondisi financial kami. Tapi karena salah satu anaknya malu ketika
Ayah menjelma menjadi supir angkot. Bagi gue Ayah adalah ayah terbaik waktu
itu, bahkan sempat gue berfikir pengen seperti Ayah yang mampu melakukan apa
saja untuk menafkahi keluarganya. Tapi ketika gue berkata demikian, ayah pasti
ngomong gini “Kamu harus jadi orang
sukses, nak. Harus lebih dari ayah! Jangan pernah bermimpi untuk seperti Ayah,
tapi kamu harus bermimpi lebih dari Ayah. Makanya belajar yang baik nak biar
kamu bisa melebihi Ayah”.
♫♫♫
Ayahku adalah ayah yang terbaik yang
Allah berikan padaku. Banyak hal yang gue pelajari dari dia. Disiplin waktunya,
kerja kerasnya, sikap bertanggung jawabnya, dan masih banyak lagi yang membuat
gue makin kagum sama Ayah.
Kakak kedua gue saja, yang dulu
sering mendapat cambukan dari Ayah ketika berbuat salah gak pernah menyesal dan
dendam sama Ayah. Bahkan dia dengan bangganya berkata, “untung dulu ayah
mendidik gue dengan caranya yang keras. Kalau tidak bisa jadi orang bodoh
gue!!”
Masih teringat jelas dimemory otak
gue, sikap ayah gue dulu. Sikap kerasnya dia. Ayah bakalan marah banget kalau
anaknya tidak tahu berhitung diumur yang sudah semestinya tahu. Ayah gak akan
segan-segan memarahi kami bahkan memukul kami dengan lidi ketika kami malas
atau berbuat salah. Ayah juga gak akan segan-segan memukul kami dengan ikat
pinggangnya ketika kami menentang atau melawan kehendaknya..
Gue masih ingat jelas, pernah
beberapa kali cambukan-cambukan Ayah mendarat
di tubuhku ketika gue berbuat salah. Bahkan pernah sekali Ayah memarahi
kakak gue ketika membawa temannya dan pacar temannya ke rumah. Waktu itu ayah
sempat menasehati kami dengan nada tinggi, “Jangan
pernah kalian seperti itu!! Ada saatnya kalian mengenal yang namanya pacaran,
dan itu bukan sekarang. Ketika kalian sudah punya kerjaan masing-masing kalian
bebas melakukan apa saja selama tidak mencoreng nama baik keluarga!!”.
Mungkin karena ini juga dari SMP hingga kuliah gue gak pernah punya pacar,
hehehe.
Aku sayang Ayah. Gak ada satu pun
guru dalam kehidupanku yang mampu mengajari survive seperti ayah. Bagiku Ayah
adalah teladanku, tokoh idamanku. Sekarang Ayah sudah gak kayak dulu, sekarang
tubuhnya lemah. Dia gampang lelah, udah gak kuat berjalan jauh lagi. Tapi di
mataku dia tetap Ayahku yang tampan,
gagah, dan berwibawa. He’s the best
father in the world!!
♥♥♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar