April 03, 2011

The Great Father in The World


            Namanya Muhammad Aris, biasa dipanggil Gatot oleh kerabatnya. Tubuh tinggi dan tegap dengan paras yang serius membuat dia segani oleh beberapa orang termasuk kerabatnya. Perawakan keras, bertanggung jawab dan disiplin menjadikan dia sosok inspirasi bagi anak-anaknya. Yeah, dia Ayahku! Ayah terbaik yang Allah berikan kepadaku. Gue gak tahu apa jadinya gue tanpa didikan dari Ayah.
            Ayahku memang sangat disiplin, dia sangat menghargai waktu. Baginya melewatkan satu hari duduk santai tanpa melakukan apa-apa yang bisa menghasilkan adalah sia-sia. Ayah tipe orang yang pekerja keras, mungkin dia seperti itu ketika Kakek alias Ayahnya Ayah meninggal dunia. Gue masih ingat ketika Mama bercerita ke gue, cerita ketika Ayah masih muda, ketika Ayah masih nakal-nakalnya, dan ketika satu peristiwa yang membuat Ayah trauma dan menyesal.

Kata Mama :
“Ayah kamu itu dulu ketika masih mudah bandelnya minta ampun. Gak mau mendengar kata om-nya. Ketika dinasehatin, dia akan pura-pura mendengar padahal gak dengar. Seringkali dulu saudara kakek kamu mengingatkan Ayah kamu supaya gak bandel. Nyuruh dia bertindak seperti Om Bur kamu, tapi Ayah kamu malah gak pernah nurut. Mungkin Ayah kamu dulu masih shock ketika kehilangan kakek kamu. Soalnya Ayah kamu sangat dekat dengan kakek kamu.”

            Gue memotong perkataan mama seraya bertanya “Emangnya kakek meninggal gara-gara apa ma?”.

Mama kembali melanjutkan ceritanya, “Gak ada yang tahu kakek kamu meninggal karena apa. Dia sehat, sangat sehat. Dia jarang sakit. Kata Ayah kamu, kakek kamu meninggal di malam takbiran. Tepat ketika Ayah kamu pulang dari konvoi takbiran dengan teman-temannya. Sejak saat itu sifat Ayah kamu berubah. Dulunya dia penurut, dibilangin jangan begini dia pasti nurut. Tapi kondisinya berbeda ketika Kakek kamu meninggalkan Ayahmu.”

            Gue merhatiin wajah Mama dengan seksama, ada sedikit rasa sedih ketika ia berusaha untuk menceritakan ini. Gue terus memperhatikan Mama, berusaha menangkap isyarat-isayarat wajahnya.

            “Ketika Kakek kamu meninggal Ayah kamu ikut dengan saudara Kakek kamu ke makassar. Segala biaya untuk sekolah Ayah kamu dan adiknya Eyang kamu yang berikan. Mulai dari vasilitas sekolah hingga vasilitas buat kesekolah.” Mama tersenyum sebentar ke gue.

            “Lalu dimana letak kebandelan Ayah, Ma?” gue memperbaiki posisi duduk gue.
           
            Mama tersenyum sebentar lalu kembali melanjutkan ceritanya, “Dulu ketika mendekati UAS, Ayah kamu dan beberapa temannya melakukan aksi track-trackan alias saling menabrakin motor. Kalau dipikir lagi waktu itu Ayah kamu mungkin sudah gila, masa iya ada orang bodoh yang mau ngelukain dirinya sendiri.” Mama tertawa renyah. “waktu itu Ayah kamu melakukan aksi gila itu, hasilnya kakinya patah dan harus di rawat di rumah sakit. Dan bodohnya lagi, ketika kaki Ayahmu mau dioperasi saking parahnya dia malah kabur dengan teman-temannya. Eyang kamu sempat marah besar, bahkan sempat hampir tidak peduli lagi dengan Ayah kamu. Dan gara-gara kebodohannya ini Ayah kamu kadang berfikir ‘kenapa dulu saya mesti kabur ya?’, Ayah kamu memang susah ditebak.”
           
            Gue bakalan tertawa ngakak ketika mengingat cerita Mama ini. Sungguh diluar pikiran gue, cuma orang bodoh yang mau menabrakan dirinya hanya untuk di katain “hebat” oleh teman-temannya. Pantesan kaki Ayah gue gede sebelah dan kalau berjalan dia sedikit pincang, ternyata sebabnya karena Ayah gak mau dioperasi dulu. Yeah, setiap orang punya cerita kenakalan masing-masing yang nantinya bakalan jadi cerita indah untuk di bagi ke anak – cucu masing-masing.

♫♫♫

            Lalu dimana letak gelar “Ayah Terbaik” untuk Ayah gue? Nah, ini yang paling gue suka dari Ayah gue. Dia sangat disiplin dalam mendidik kami semua. Banyak pelajaran yang kami dapat dari caranya mendidik kami. Gue juga suka sifat Ayah yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya.
            Dulu ketika kondisi kami masih sangat minim dalam hal financial, Ayah akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nafkah. Gue kembali teringat ketika Mama bercerita tentang kerja keras Ayah, dari gak punya rumah hingga mampu membangun rumah sendiri.

Kata Mama :
“Dulu kondisi kita sangat buruk kan? Kamu pasti masih ingat, rumah tua yang kita tinggali dulu, rumah yang dimana jika ingin mandi harus menimba air disumur dulu. Rumah yang dimana tiap kali hujan turun, akan terdengar setitik air jatuh ke lantai kayu. Rumah yang kecil yang hanya memiliki dua tempat tidur. Waktu itu Ayah kamu udah sadar, dia tahu bahwa sekarang dia gak lagi sendiri, dia punya keluarga yang harus diberi makan. Memang ketika itu, ayah kamu belum punya kerjaan tetap. Dia hanya menjual sarung dari satu daerah ke daerah lain. Ketika matahari belum menampakkan sinarnya, Ayah kamu sudah bersiap dengan semangat 45 untuk menjual beberapa lembar sarung. Dari hasil jualan sarung itu Ayah membiayai sekolah kakak kamu Ita. Dari hasil jual sarung itu Ayah memberi makan kita.”
            “Berapa gaji ayah waktu itu Ma?” gue memotong sedikit cerita mama.

            Mama tersenyum sebentar, “Gak tentu sayang. Kadang Ayah kamu dapat lebih kadang juga tidak. Yang jelasnya setiap hari Ayah selalu pulang dengan membawa uang untuk Mama. Ayah kamu baru berhenti berjualan sarung ketika Eyang kamu telah berhasil memperkerjakannya sebagai dosen disalah satu universitas. Sejak itu kondisi kita sedikit membaik, tapi gak sepenuhnya baik. Ayah kamu mulai mengumpulkan uang dengan pikiran untuk membangun rumah yang layak untuk kita tinggali. Dan hasilnya, inilah rumah kita. Rumah hasil jerih payah Ayah  kamu.”
           
            Jujur, gue selalu nangis ketika mengingat kisah hidup Ayah gue yang sangat keras. Dia mulai dengan berjualan sarung, lalu bekerja menjadi dosen. Gue juga masih ingat kendaraan pertama yang dia beli, sebuah sepeda motor yang bunyi klaksonnya gak seperti bunyi klakson motor pada umumnya.
            Ayah gue bukan tipe orang yang senang membuang-buang waktu yang menurutnya sangat berharga. Ketika rumah kami selesai dibangun dan Mama hamil lagi, Ayah tahu kalau pekerjaan menjadi dosen gak akan mampu mencukupi kebutuhan keluarganya yang makin besar.
            Maka Ayah mulai berbisnis angkot. Ayah membeli 3 angkot, mencarikannya supir lalu memberi target pendapatan untuk masing-masing supir. Terkadang ketika salah satu supir Ayah gak masuk kerja dan Ayah tidak sedang ada jadwal mengajar, Ayah yang akan membawa angkot itu untuk mencari penumpang. Masih jelas dimemori otak gue, ketika Ayah hendak pamit buat kerja, gue bakalan dengan senangnya merengek-rengek ikut Ayah narik angkot.
            Gue pernah nangis sekali, ketika kakak gue sempat malu waktu Ayah menjadi supir angkot. Gue pengen marah tapi gue belum tahu marah itu kayak gimana, yang gue tahu waktu itu Ayah sedih, bukan karena kondisi financial kami. Tapi karena salah satu anaknya malu ketika Ayah menjelma menjadi supir angkot. Bagi gue Ayah adalah ayah terbaik waktu itu, bahkan sempat gue berfikir pengen seperti Ayah yang mampu melakukan apa saja untuk menafkahi keluarganya. Tapi ketika gue berkata demikian, ayah pasti ngomong gini “Kamu harus jadi orang sukses, nak. Harus lebih dari ayah! Jangan pernah bermimpi untuk seperti Ayah, tapi kamu harus bermimpi lebih dari Ayah. Makanya belajar yang baik nak biar kamu bisa melebihi Ayah”.

♫♫♫

            Ayahku adalah ayah yang terbaik yang Allah berikan padaku. Banyak hal yang gue pelajari dari dia. Disiplin waktunya, kerja kerasnya, sikap bertanggung jawabnya, dan masih banyak lagi yang membuat gue makin kagum sama Ayah.
            Kakak kedua gue saja, yang dulu sering mendapat cambukan dari Ayah ketika berbuat salah gak pernah menyesal dan dendam sama Ayah. Bahkan dia dengan bangganya berkata, “untung dulu ayah mendidik gue dengan caranya yang keras. Kalau tidak bisa jadi orang bodoh gue!!”
            Masih teringat jelas dimemory otak gue, sikap ayah gue dulu. Sikap kerasnya dia. Ayah bakalan marah banget kalau anaknya tidak tahu berhitung diumur yang sudah semestinya tahu. Ayah gak akan segan-segan memarahi kami bahkan memukul kami dengan lidi ketika kami malas atau berbuat salah. Ayah juga gak akan segan-segan memukul kami dengan ikat pinggangnya ketika kami menentang atau melawan kehendaknya..
            Gue masih ingat jelas, pernah beberapa kali cambukan-cambukan Ayah mendarat  di tubuhku ketika gue berbuat salah. Bahkan pernah sekali Ayah memarahi kakak gue ketika membawa temannya dan pacar temannya ke rumah. Waktu itu ayah sempat menasehati kami dengan nada tinggi, “Jangan pernah kalian seperti itu!! Ada saatnya kalian mengenal yang namanya pacaran, dan itu bukan sekarang. Ketika kalian sudah punya kerjaan masing-masing kalian bebas melakukan apa saja selama tidak mencoreng nama baik keluarga!!”. Mungkin karena ini juga dari SMP hingga kuliah gue gak pernah punya pacar, hehehe.
            Aku sayang Ayah. Gak ada satu pun guru dalam kehidupanku yang mampu mengajari survive seperti ayah. Bagiku Ayah adalah teladanku, tokoh idamanku. Sekarang Ayah sudah gak kayak dulu, sekarang tubuhnya lemah. Dia gampang lelah, udah gak kuat berjalan jauh lagi. Tapi di mataku  dia tetap Ayahku yang tampan, gagah, dan berwibawa. He’s the best father in the world!!


♥♥♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar