September 12, 2015

Secangkir Kopi & Perempuan Di Ujung Jendela

Langit benar-benar tidak bisa di tebak sore ini. Sedari pagi langit tampak cerah namun semakin lama ia justru semakin mendung. Dan seperti orang-orang lainnya, aku pun berlari mencoba menghindari hujan sore itu. Langkah kakiku membawaku ke sebuah cafe tepat di depan sebuah rumah sakit yang cukup besar. Aku melangkah masuk, menuju lantai dua yang cukup lowong. Aku menyimpan buku yang selalu menemani perjalananku, menunggu pelayan menawarkan menunya sembari melemparkan pandang ke seluruh bagian jalanan yang di sapu hujan.

"Cappucino satu." Ucapku.
"Yang hangat mas?" Kata pelayan perempuan itu. Aku hanya mengangguk, mengiyakan apa yang ia tanyakan padaku. Dalam hati aku merutuk hujan yang kian deras, janjianku kembali tertunda sebab hujan sore ini. Aku masih menikmati pemandangan di luar jendela, hingga ku lihat sebuah pemandangan yang cukup menarik perhatianku.

Seorang perempuan di ujung jendela lantai 3 rumah sakit tengah menatap pintu sebuah ruangan. Aku melihat dia enggan melangkah masuk, perempuan itu hanya menatap pintu itu lama, sangat lama. Bahkan saat pesananku datang dia masih berdiri terpaku di depan ruangan itu. Tidak mengetuk atau membuka pintu itu, ia hanya menatapnya.

Aku menghabiskan kopiku sembari melihat perempuan itu. Hingga kopiku benar-benar habis, perempuan itu tidak juga pergi atau masuk ke ruangan itu. Dalam hatiku aku bertanya, siapa yang ada di ruangan itu? Namun, sebagian diriku enggan memikirkannya. Aku sudah berhenti mengurusi urusan orang lain, begitu hujan reda aku bergegas pergi. Tidak ingin rasanya, aku membiarkan janjian kali ini terbuang percuma.
***
Lagi-lagi hujan menjebakku di cafe ini, cafe yang sama tempatku duduk kemarin. Aku menghela nafas panjang, menatap jalanan dan beberapa orang yang sibuk mengerjakan tugas di dalam ruangan ini. Mataku kembali ku ajak mengelitari pemandangan-pemandangan di luar jendela. Lagi-lagi aku menangkap sosok perempuan yang kemarin ku lihat tetap diam tanpa berkeinginan untuk masuk ke ruangan yang dia tatap.

"Kenapa anda masih betah berdiri disana?" Batinku mengajakku bertanya.

Aku memperhatikan perempuan itu cukup lama, beberapa menit saat pintu ruangan itu di buka perempuan itu justru berbalik, berjalan sedikit. Begitu pintu kembali tertutup dia kembali berdiri di depan pintu itu. Menatapnya dengan tatapan yang sedikit sedih menurutku. Ku habiskan sesegera mungkin kopiku lalu bergegas menyebrang ke rumah sakit. Kali ini rasa penasaranku membuat kakiku melangkah ke arah perempuan di ujung jendela itu.

Aku sedikit berlari, ransel yang cukup berat membuatku sedikit susah berlari. Ah, buku-buku yang sering ku bawa rasanya kian berat. Aku berjalan terus menuju lantai 3 rumah sakit itu, mencari sosok perempuan itu. Begitu sampai disana, aku berhasil melihat jelas wajahnya. Berhasil melihat bagaimana dia begitu sedih menatap pintu ruangan itu.

"Hai." Sapaku. Dia berbalik melihatku, sedikit heran. Melempar senyum lalu kembali menatap pintu di hadapannya.

"Kenapa gak masuk saja?" Kataku seolah akulah pemilik yang tinggal di ruangan itu.

"Aku takut mas." Jawabnya tertunduk. Ku cermati wajah sendu itu cukup lama.

"Kenapa takut coba?"Tanyaku berusaha menemukan.  Dia diam, hanya tersenyum sebentar lalu pamit. Aku perhatikan perempuan itu hingga dia menghilang.

Rasa penasaranku kini makin besar, ku buka pintu ruangan itu. Tiga orang yang ada di salam spontan menatapku dengan tanya "Kamu siapa?". Aku melihat sekilas seorang laki-laki, seumuranku yang tengah tidur dengan infus di tangannya. Juga perempuan dan laki-laki lainnya.

"Maaf, saya salah kamar." Kataku bergegas keluar.
***
Esoknya aku kembali menunggu perempuan itu di depan pintu kamar tempat dia selalu berdiri disana. Ada yang ingin ku tanyakan, ada tanya yang ku butuhkan jawaban. 30 menit aku menunggu akhirnya perempuan itu datang juga. Buru-buru ku lempar senyum ke arahnya, dia pun demikian.

"Masuk saja mbak." Kataku mempersilahkan.

"Tidak terima kasih." Katanya.

"Kenapa?"

"Ada hati yang harus ku jaga. Jika aku masuk ke sana, maka akan ada hati yang merasa tidak enak." Katanya mencoba tersenyum.

"Maksudnya?"

"Laki-laki di dalam yang sedang sakit adalah salah satu favoritku. Aku tahu kabarnya dari seorang teman, aku ingin sekali melihatnya. duduk di dekatnya, namun aku cukup tahu diri." Kata perempuan itu menjelaskan.

"Aku gak ngerti maksud mbak deh."

"Saat seseorang tidak menginginkanmu apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya.

"Menjauh."

"Itu yang sedang ku lakukan. Aku ingin sekali, ingin sekali bisa melihatnya. Namun, aku bagian dari yang tidak di inginkan. Aku ingin tahu separah apa lukanya? Namun, ada yang diinginkan yang telah menemaninya."

"Kenapa masih datang jika telah memiliki apa yang dia inginkan?"

"Aku pun tidak tahu mas. Kakiku melangkah ke sini setiap hari, berhenti di depan pintu setiap hari, dan hanya bisa menerka-nerka apa yang ada di balik pintu ini."

"Dia seseorang yang anda suka?"

"Mungkin seperti itu. Maaf mas, aku permisi dulu."

"Tunggu mbak!" Cegatku sebelum perempuan itu benar-benar menghilang. Ia berbalik dan melihatku dengan tanya.

"Kenapa menyukai seseorang yang tidak menginginkan mbak?" Tanyaku kemudian.

"Aku pun masih mencari-cari mas. Selalu ku tanyakan juga pada diriku kenapa? Hanya saja jawabannya selalu sama, 'aku menyukainya. sebanyak apapun dia tidak menyukaiku, aku menyukainya. Dan ku ikutsertakan Allah dalam perasaan itu.' Mungkin seperti itu mas." Perempuan itu lalu pergi.

Di depan pintu dia meninggakan tanaman kaktus dengan note bertuliskan "semoga lekas sembuh. Dan baik-baiklah selalu, ku mohon jangan sakit lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar