Berapa dari kita yang setiap kali
makan menyisakan makanan dipiring?
Berapa dari kita yang selalu
mengeluhkan panas ketika matahari sedang senang-senangnya?
Dan berapa dari kita yang selalu
mengeluh capek?
Juga mengeluh tentang kehidupan
yang menurutnya tidak adil sama sekali?
Tulisan ini bukan untuk menggurui,
bukan pula untuk menunjukkan aku lebih baik di banding orang lain, bukan pula
untuk menunjukkan kepura-puraan, sok baik, atau apapun yang menurut orang hanya
untuk mengangkat pamor atau hanya untuk di sanjung. Tulisan ini aku buat dengan
penuh harap bahwa setelah kalian membaca ini, sifat jelek diatas bisa segera di
hilangkan.
Aku salah satu dari kalian yang
sering mengeluh ketika capek, aku juga kadang mengeluh ketika makan di sebuah
warung dan makanannya gak enak. Aku juga pernah mengeluh tentang terik matahari
yang membakar hangus kulitku. Padahal tanpa disadari Sang Surya juga merasa
sakit hati jika terus di salahkan. Aku bagian dari kalian, bagian dari kalian
yang mungkin juga mengeluh kenapa? Atau mengeluarkan suara, ya ampun. Atau
mungkin juga yang selalu menghela nafas tak syukur.
Beberapa hari yang lalu seorang
teman memperlihatkan foto dua anak perempuan dengan latar belakang gunung
sampah. Ya, SAMPAH. Anak perempuan itu tersenyum penuh arti dalam bingkai hitam
putih sebuah gambar. Bak seorang artis mereka tidak memperlihatkan derita
sedikitpun. Mereka tertawa layaknya anak kecil yang ketika melihat kamera akan
spontan tersenyum dan memamerkan gigi-gigi mereka.
Bisa di tebak lokasinya dimana.
Namun, karena sebutan Anak Rumahan yang sedari dulu melekat aku bahkan tidak
tahu dimana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah-sampah masyarakat di kota ini.
Sampai ketika teman menyebut alamat, ANTANG. Ya, aku tahu dimana lokasi itu,
semasa kuliah aku sering kerumah teman di sana. Mengerjakan tugas kampus tanpa
pernah berfikir untuk mengunjungi tempat yang penuh dengan sampah itu.
Hingga minggu kemarin, sebuah misi
membawaku ke tempat itu. Misi untuk membawa mereka kembali ke sekolah. Tempat
yang menjadi kesukaan anak-anak. Tempat dimana mereka seharusnya menimba ilmu.
Kami berangkat bertiga, hanya aku, adikku, dan seorang volunteer Save Street
Child Makassar yang hebat. Dengan modal kesoktahuan kami memulai pencarian dua
bocah cantik itu. Baru juga masuk di sekitar gunung-gunung sampah itu, debu
juga bau yang begitu menyengat menyambar penciuman kami.
Bermodal foto kami mulai menanyakan
warga sekitar. Menyusuri sebuah rumah dimana anak-anak biasanya berkumpul untuk
belajar katanya. Namun tidak juga ada tanda-tanda mereka biasa belajar disana.
Sampai akhirnya kami memutuskan untuk masuk ke TPA itu. Masuk dan melihat
berbukit-bukit sampah yang benar-benar tidak enak dipandang. Puluhan sapi
berkeliaran disana, bercampur dengan orang-orang yang mulai mengais sampah
untuk keperluan mereka.
Ku lihat beberapa orang menatap
kami, mungkin mereka bertanya-tanya. Aku berusaha menahan diri untuk tidak
menutup hidung, takut menyinggung mereka yang sedang bekerja disana. Kami masih
mencari dua bocah perempuan itu, bertanya kesan-kemari. Sampai kami melihat
seorang anak sedang duduk beristirahat.
“Adek, kenal anak ini nda?” Tanya
kami sembari memperlihatkan foto anak itu.
“Iya kak, mereka biasa disini. Tapi hari ini tidak
datang.” Katanya sambil tersenyum.
Anak itu terlihat hitam, kulitnya hangus dibakar
matahari untuk menopang kehidupan keluarganya. Dia mengenakan pakaian yang
tidak begitu layak, kotor, juga dekil. Aku sempat shock melihat anak-anak
disana. Si anak mulai memperlihatkan teman-temannya dari kejauhan, di tempat
kami berdiri dia menunjuk seorang anak kecil sedang mencari botol-botol plastik
diantara beberapa sapi dan orang dewasa.
“Itu pemulung paling muda disini kak. Umurnya baru 5
tahun.” Ucapnya kembali dengan senyum.
Hati ini rasanya iba melihat anak sekecil itu sudah
ikutan memulung, dan bukannya tinggal dirumah bermain dengan teman sebayanya.
Ingin rasanya menangis. Untuk sedetik aku memanggil Tuhan. Menghadirkannya di
pelupuk mataku seraya mengucap doa untuk anak itu.
“Kamu sekolah dek?” Pertanyaan selanjutnya yang kami
tanyakan kepada anak itu. Sembari mengusap kepala sapi, dia mengangkat
kepalanya lalu berucap, “Tidak.”
“Kamu mau sekolah?” Kami kembali bertanya. Dia diam.
Ada jeda beberapa menit, seolah dia berfikir akan menjawab “iya” atau “tidak”.
Aku berharap dia menjawab “iya” karena dengan begitu kami bisa membawanya
kembali ke sekolah, namun jawaban yang kami dengar adalah “Tidak mau kak.” Ucapnya
dengan senyum yang memang terlalu dipaksakan.
Tuhan, jika memang anak ini tidak ingin bersekolah
dia pasti langsung menjawab tidak. Namun dalam jawabannya terselip kata “Iya”.
Dia ingin bersekolah tapi ada tanggung jawab lain yang dia pikul di pundaknya.
Sebuah tanggung jawab yang mungkin sulit bagi kita untuk dilakukan. Si kecil
ini benar-benar hebat Tuhan, dia bahkan sudah berhasil menghidupi keluarganya.
“Biasanya kamu dapat berapa dari memulung disini?”
Kali ini volunteer kami yang bertanya.
“Dua puluh ribu kak.” Ucapnya lagi masih dengan
senyum tipisnya.
Kerja seharian dan yang dia dapat hanya dua puluh
ribu. Bahkan dua puluh ribu bagi beberapa orang tidak begitu berarti sama
sekali. Dua puluh ribu yang kalian gunakan untuk membeli rokok dan
barang-barang yang tidak berharga sangat berharga untuk anak ini dan keluarga.
Ya Allah, disaat aku hampir khilaf karena ketidakadilan yang ku dapat aku
belajar dari perjalanan ini.
Aku kembali shock ketika mendengar sebuah pernyataan
anak ini, ‘Tidak ada anak-anak disini yang sekolah kak.” Sementara aku begitu
santai dengan sekolahku, anak ini mungkin punya mimpi untuk terus bersekolah. Ada
banyak hal yang bahkan pernah ku lakukan ketika bersekolah, bahkan ada banyak
hal yang tidak ku syukuri ketika itu. Kini aku menyesal, untuk setiap hal kecil
yang telah ku dapatkan aku bersyukur ya Allah.
Jika suatu ketika kalian makan, lalu menyisakan
makanan kalian. Ingat ini, di TPA antang, anak-anak disana dari umur 5 tahun
berjuang untuk sesuap nasi. Jika suatu ketika kalian mengeluh panas, ingat ini,
anak-anak di TPA antang mulai bekerja dari pagi hingga sore. Terik matahari
adalah teman mereka. Terik matahari adalah semangat mereka. Tidak pantas kita
menyalahkan matahari yang justru memberi semangat untuk anak-anak.
Lalu, jika suatu hari kalian mengeluh capek. Ingat
ini, anak-anak disana bahkan lebih lelah lagi. Mereka berjalan dari satu bukit
sampah ke bukit sampah lainnya hanya untuk mengumpulkan dan mencari barang yang
bisa di timbang. Aku bersyukur Tuhan untuk setiap hal kecil yang Engkau berikan
padaku. Apapun aku di masa depan, aku harap aku bisa terus membantu mereka yang
membutuhkan. Membuat mimpi-mimpi yang mereka pendam menjadi nyata. Membuat
mereka kembali bisa bermimpi, bukan menjadi pemulung tapi menjadi orang yang
benar-benar sukses.
Apapun aku dimasa depan, aku harap rasa syukur itu
selalu ada. Bahkan untuk hal terkecil yang tak kasat mata sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar